KUTACANE (Waspada.id): Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Leuser (FKML), Burhan Alpin, mendesak Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk berkantor sementara di Aceh atau Medan guna mempercepat penanganan bencana banjir besar yang melanda Aceh dan wilayah Sumatera pada akhir November 2025 lalu.
“Skala kerusakan dan dampak kemanusiaan yang ditimbulkan sudah masuk kategori Darurat Kemanusiaan,” ujarnya kepada Waspada.id, melalui sambungan WhatsApp, Selasa (16/12). Lanjutnya, bencana ini tidak bisa ditangani secara biasa.
“Presiden, Wakil Presiden, BNPB, dan para menteri terkait harus standby langsung di Aceh agar penanganan lebih fokus dan cepat. Ini menyangkut keselamatan manusia dan peradaban, bukan politik pencitraan,” tegas Alpin.
Menurut Alpin lagi, banjir bandang yang terjadi merupakan dampak langsung dari degradasi lingkungan yang sudah berlangsung lama, khususnya di kawasan Ekosistem Leuser. Ia menilai kerusakan hutan terjadi akibat konversi hutan, pengelolaan yang salah, pembiaran penebangan, serta lemahnya pengawasan pemerintah.
“Yang selalu disalahkan illegal logging. Lalu yang legal kerjanya apa selama ini? Kerusakan hutan dari tahun ke tahun semakin parah sejak 1998 hingga 2025. Data menunjukkan sekitar 85 persen bencana alam disebabkan oleh kerusakan lingkungan, baik itu longsor maupun banjir bandang,” ungkapnya.
Alpin juga mengingatkan tragedi banjir bandang Bahorok, Bukit Lawang, tahun 2003, yang menurutnya memiliki pola penyebab yang sama. Saat itu, pemukiman warga dan kawasan wisata Taman Nasional Gunung Leuser hancur akibat terjangan kayu-kayu besar hasil penebangan hutan.
“Kami sudah melihat tanda-tanda ini sejak lama. Kerusakan hutan di Leuser terus terjadi sejak dikelola Unit Manajemen Leuser (UML) di bawah Yayasan Leuser Internasional (YLI) berdasarkan Kepres Nomor 33 Tahun 1998. Sejak dulu kami minta Kepres itu dicabut,” kata Alpin.
Ia mengungkapkan, sebelum tragedi Bahorok terjadi, FKML bersama elemen masyarakat sipil pernah mengajukan gugatan class action terhadap Pemerintah Pusat, termasuk Presiden saat itu, Menteri Kehutanan, YLI/UML, serta pihak asing yang diduga terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan Hutan Leuser.
“Gugatan itu berdasarkan dugaan kuat bahwa kerusakan hutan akan memicu bencana. Dan dugaan itu terbukti di Bahorok. Sekarang, bencana yang jauh lebih dahsyat kembali terjadi di Aceh dan Sumatera,” ujarnya.
Alpin mempertanyakan siapa pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan yang berujung pada tragedi kemanusiaan ini. “Apakah pengelola Taman Nasional Gunung Leuser, pemerintah, pelaku illegal logging, pelaku legal, atau rakyat kecil yang kembali disalahkan? Atau ini hanya dianggap takdir Tuhan sehingga tidak ada yang bertanggung jawab?” ucapnya dengan nada haru.
Ia juga menyoroti belum ditetapkannya bencana ini sebagai Bencana Nasional oleh Pemerintah Pusat. Menurutnya, hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. “Ada apa sebenarnya? Apakah ada kepentingan tertentu, termasuk kepentingan asing, atau kesalahan kebijakan sejak awal yang tidak melibatkan masyarakat lokal yang hidup di sekitar kaki Gunung Leuser?” katanya.
Saat ditanya wartawan apakah FKML berani menggugat Presiden Prabowo Subianto, Alpin menjawab tegas namun berhati-hati; “Kami sudah pernah menggugat presiden sebelumnya, bahkan pihak internasional. Tapi saat ini kami masih melihat keseriusan pemerintah dalam menangani masa tanggap darurat dan pascabencana. Kita masih berduka,” ujarnya.
FKML, lanjut Alpin, mendukung langkah cepat Gubernur, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat, termasuk jika diperlukan membuka pintu bantuan internasional. Selain itu, FKML juga mendesak Presiden untuk mencabut Kepres Nomor 33 Tahun 1998 serta segera menerapkan moratorium total penebangan hutan, guna mencegah bencana serupa terus berulang. Kondisi hutan kita sudah sangat kritis. Jika tidak ada kebijakan tegas, banjir bandang seperti ini akan terus berulang,” tegasnya.
Alpin menutup pernyataannya dengan ajakan kepada seluruh pihak untuk menjaga dan menyelamatkan hutan. “Mari kita benahi bersama. Selamatkan hutan, lestarikan alam, dan sejahterakan masyarakatnya. Jika hutan rusak, maka manusia yang pertama kali menjadi korban,” pungkasnya.(id80)











