Scroll Untuk Membaca

Aceh

Perencanaan Jalan Tembus Aceh Tamiang-Gayo Lues Harus Matang

Perencanaan Jalan Tembus Aceh Tamiang-Gayo Lues Harus Matang
Tim LembAHtari saat meninjau lokasi pembukaan dan peningkatan jalan tembus Aceh Tamiang – Gayo Lues yang dinilainya terkait perencanaan peningkatan jalan ini harus benar-benar matang dengan melihat berbagai potensi ditimbulkan.(Waspada/Ist)
Kecil Besar
14px

ACEH TAMIANG (Waspada): Mencermati perencanaan peningkatan dan pembukaan jalan antar dua kabupaten yaitu Aceh Tamiang – Gayo Lues, kini sudah menjadi isu-isu penting dan strategis dengan maksud membuka wilayah yang selama ini terisolir.

Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal kepada Waspada Sabtu (16/9) menyampaikan, ruas jalan tersebut melewati wilayah yang curam dan terjal serta ketinggian mencapai bisa 600 Mdpl, kemudian wilayah curah hujan tinggi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Perencanaan Jalan Tembus Aceh Tamiang-Gayo Lues Harus Matang

IKLAN

Data LembAHtari, lokasi jaringan jalan ini bukan termasuk jaringan jalur jalan Ladia Galaska yang pernah direncanakan masa Pemerintahan Abdullah Puteh atau dulu disebut jaringan jalur laba – laba, dan masa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menjadi jaringan jalur Ladia Galaska artinya lautan Hindia Gayo Selat Malaka.

Sayed Zainal berpendapat rencana peningkatan jalan dan beberapa titik pembukaan jalur baru diatas Bukit Tiga Kilo untuk menghindari wilayah yang terjal dan curam, perencanaan harus matang, PUPR Aceh sebagai pemrakarsa harus mengkaji secara detail, terbuka dan transparan apabila dalam pembahasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang kewenangannya ada di provinsi.

Menurutnya, harus ada instansi Pemerintah Aceh yang bertanggung jawab dan jelas-jelas tertuang dalam dokumen UKL dan UPL-nya, termasuk dua pemerintah daerah yakni Pemkab Aceh Tamiang dan Gayo Lues. “Sebab potensi – potensi perambahan hutan, alih fungsi hutan serta pembalakan liar sulit dibendung apabila pemerintah daerah lepas tangan,” tegas Sayed Zainal.

Karena itu, LembAHtari mengingatkan agar pembahasan Amdal harus di Provinsi Aceh dan harus detail serta mempertimbangkan potensi bencananya, longsor di lokasi yang terjal, kemiringan dan curah hujan, haru jelas juga pengawasan saat konstruksi dan paska konstruksi. “Jangan hanya berpikir untuk meningkatkan perekonomian dua wilayah, tetapi dampak potensi bencana yang ditimbulkan tidak menjadi faktor penting dalam pembahasan,” ujarnya.

“Mungkin dapat kita cermati, bagaimana ketika dikerjakan pada tahun 2020 di jalur Alur Sersak, Kecamatan Tamiang Hulu yang merupakan titik nol menuju bukit batu lebih kurang mencapai 6 Km, saat itu juga dikerjakan tanpa dokumen Amdal. Sayangnya saat kami tinjau 15 September 2023 kemarin, jaringan jalan tersebut merupakan tempat jaringan jalur air,” sebutnya.

Dijelaskannya, untuk menuju ke arah perbatasan Lesten, di atas Bukit Tiga Kilo menuju Mil Dua lokasinya alur dan sungai yang dilalui di sekitar jaringan kiri kanan jalan seperti sungai Serba, Alur Kol, Alur Sersak, sungai Blutan, Alur Selusin, Alur Jamur Atu, Alur Bukit Pepanji, Alur Bukit Batu dan Alur Dendang dan ini di lokasi yang berada di wilayah Aceh Tamiang.

“Belum lagi wilayah Lesten, sungai dan alurnya bahkan dengan wilayah perbukitan yang curam atau tinggi,” terang Sayed Zainal sembari menyampaikan informasi penting, bahwa di beberapa titik wilayah Lesten merupakan wilayah koridor gajah dengan jumlah satwa banyak yang selalu muncul di perladangan masyarakat di Lesten.

Aktivis lingkungan ini mengingatkan hal ini kepada Pemerintah Aceh, khususnya pemrakarsa Dinas PUPR Aceh dan pengguna dua pemerintah kabupaten.

Sayed Zainal menegaskan lagi, jika serius pendanaan pembangunan ini harusnya bentuk multi years dan ada pos pengawasan yang permanen di perbatasan antara Lesten dan Bukit Tiga Kilo, Aceh Tamiang dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, BBTNGL dan APH khususnya dari Tim Gakkum pencegahan perusakan lingkungan hidup. “Hal semacam ini harus dituangkan dalam dokumen AMDAL kaitan dengan UKL – UPL sehingga jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap perusakan hutan, alih fungsi hutan dan pembalakan liar,” paparnya.

Sayed Zainal mengutarakan, dalam peninjauan tim lembAHtari terdiri M, Fajar Al Hidayah dan Syawaluddin pada sesi ini melihat akses yang hanya bisa dilalui dengan kenderaan roda 4 double cabin, atau istilah roda 4 grandong. Pada lokasi titik nol di luar lokasi HGU PT.MPLI,Alur Sesak dengan koordinat N 04°10′ 15,24″. E 097°49′ 08,86′ dan N 04°10’15,43″. E 097°49’09,92″, tim lembAHtari menemukan dua buah patok besi tanda cor semen terletak di kiri kanan ruas jalan Alur Sesak, tanpa tanda koordinat dan identifikasi lembAHtari merupakan kawasan hutan produksi berada dalam KEL.

“Menuju Bukit Tiga Kilo ke perbatasan Lesten Pining, Blangkejeren bersebelahan juga dengan kawasan lindung,” cetus Sayed Zainal seraya menjelaskan, setelah melewati sungai Serba dan Alur Kol, menuju bukit batu dimana tim dihadapkan dengan sungai Blutanserta data LembAHtari ruas jalan ini bukan jalan koridor.

Tetapi dulunya masa Aceh Timur dan Aceh Tenggara sekira tahun 1990 dan sebelum pemekaran beberapa kabupaten, jaringan jalan dibuka dan digunakan oleh HPH PT.TRD yang mengeksploitasi kayu log dan diangkut ke Sunting melalui Simpang Blok 8 Babo, kayu log tersebut diangkut melalui jalur sungai Tamiang ke Kuala Penaga, Kecamatan Bendahara. “HPH ini berakhir izin sampai Mei 2020, termasuk mereka merambah dan membabat hutan di kawasan hutan Melidi,” demikian Sayed Zainal.(b15)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE