SUBULUSSALAM (Waspada.id): Perusahaan perkebunan sawit di Kota Subulussalam diminta merealisasikan kebun plasma. Sejumlah perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan kewajiban itu dinilai sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap UU yang berlaku secara nasional.
Oleh karena itu, Anggota DPR RI dan Kementerian Keuangan diharapkan mengevaluasi mekanisme alokasi DBH Sawit agar lebih mencerminkan keadilan bagi daerah penghasil.
Demikian penegasan Antoni Angkat (foto), Anggota DPRK Subulussalam pada forum pertemuan terbuka bersama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI di Gedung LPSE Subulussalam, Senin (17/11).
Kepada Waspada.id, Selasa (18/11), Antoni tegaskan jika aturan terkait kebun masyarakat (plasma), tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 58 ayat (1) yang mewajibkan perusahaan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari total areal yang dikelola.
“Faktanya, banyak perusahaan perkebunan di daerah ini abaikan kewajiban itu. Ini merupakan bentuk ketidakpatuhan perusahaan terhadap undang-undang yang berlaku secara nasional,” sesal Antoni.
Aceh, kata Antoni, memiliki ketentuan khusus melalui Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2012, bahkan menetapkan kewajiban 30% kebun plasma, atau sebagai alternatif memberikan porsi saham 30% kepada masyarakat.
“Qanun Aceh menawarkan pilihan, membangun plasma 30 persen atau memberikan 30 persen saham kepada masyarakat sebagai bentuk kemitraan. Tidak ada alasan tidak melaksanakan kewajiban ini,” tegas Antoni.
Antoni sesalkan alasan perusahaan, menyebut ketidaktersediaan lahan hambatan pembangunan plasma. Padahal Qanun Aceh menawarkan solusi melalui berbagai skema kemitraan, seperti penyertaan aset, pembangunan kebun, produksi, pemasaran hingga bagi hasil.
Antoni juga menyebut jika pendapatan daerah tidak sebanding dengan luas perkebunan sawit, terbukti kontribusi pendapatan daerah dari sektor ini minim, padahal daerah dikelilingi HGU perkebunan sawit.
“Ini anomali, sawit menguasai sekitar 25 persen wilayah Subulussalam, tapi pendapatan daerah kita hanya sekitar Rp475 miliar. Kota dan masyarakat tak merasakan dampak kesejahteraan yang semestinya,” jelas Antoni, sebut Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit diterima Pemko Subulussalam terus menurun dalam tiga tahun terakhir.
Dirinci, jika pada tahun 2023 sebesar Rp7,1 miliar, lalu 2024 turun menjadi Rp5,2 miliar, bahkan lebih rendah 2025 hanya Rp 3,2 miliar, padahal produksi sawit dan CPO terus meningkat.
“Ini sangat tidak adil. Luasan sawit kita besar, dampak lingkungan besar, justru DBH terus turun. Pemerintah pusat harus membuka mata terhadap ketimpangan ini,” tegasnya.
Pihaknya pun berharap DPR RI bisa meninjau ulang kebijakan DBH Sawit dan memberikan alokasi yang adil dan proporsional sesuai kondisi lapangan, bukan hanya angka di atas kertas.
Pemerintah pusat dan perusahaan perkebunan diingatkan berhenti mengabaikan hak masyarakat dan daerah. Subulussalam sudah terlalu lama hanya jadi penonton di tanah sendiri. “Saatnya masyarakat untuk mendapatkan bagian, baik dari plasma maupun dari pendapatan negara,” tegasnya.
Terkait persoalan hukum, perusahaan diminta mengedepankan Restorative Justice. Konflik perusahaan dengan masyarakat soal lahan, sering kali warga dilaporkan pihak perusahaan perkebunan sawit ke kepolisian.
”Penting pendekatan Restorative Justice, jangan semena mena dengan rakyat yang mencari makan di sekitar wilayah perkebunan,” pinta Antoni, sebut Restorative Justice sebagai jalur hukum positif negara di Kejaksaan, Kepolisian dan Mahkamah Agung.
Pihaknya juga memastikan anti terhadap sikap perusahaan bertindak arogan dan memperkarakan hukum rakyat kecil. (id90)












