SUBULUSSALAM (Waspada): Pesan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) kepada Pasangan Calon (Paslon) kontestan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur, Bupati dan Wali Kota 2024.
Dalam rilisnya diterima Waspada, Senin (18/11), Ketua IDDI Kota Subulussalam, Aab Syihabuddin, S.Ag, M.Ag menulis, mencermati hiruk pikuk Pilkada serentak, penting saling ingatkan, menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, benar katakan benar dan salah katakan salah.
Ditulis, jabatan adalah amanah, bukan gonimah. Meraih jabatan gunakan cara yang baik karena tidak dibenarkan dengan cara batil. Kaidah Islam tidak mengenal ‘Al-Ghoyah Tubarriul Wasilah’ (mencapai tujuan cara apapun dibenarkan) atau ‘Al-Wushulu ilal Haq bil Khaudhi fil Katsiri Minal Batil’ (memperoleh sesuatu yang baik dilakukan dengan gelimang kebatilan).
“Jangan untuk tujuan baik halalkan segala cara, tetapi raihlah dengan cara baik,” pesan Aab, contohkan membangun masjid dengan cara merampok, riba, korupsi atau judi adalah batil.
Dipastikan salah jika untuk meraih sebuah jabatan menyogok, menyuap, manipulasi data, campuradukkan antara hak dengan batil, atau bahkan menyembunyikan kebenaran yang diketahui.
Soal lain, jabatan juga tidak kekal. Penting diberikan edukasi yang baik kepada pendukung dan masyarakat terkait larangan politik uang. “Jangan pula beranggapan jika ada paslon curang, semua orang boleh curang,” pesannya, sebut tindakan itu menyalahi hukum Allah dan UU Negara.
Ambisi kekuasaan dan mengetahui politik uang salah tetapi dilakukan, dosa dan pertanggungjawabannya lebih besar.
Lebih miris lagi, pesan Aab, jika dengan melakukan kecurangan dan sogok menyogok diyakini menang, mendahului taqdir. Jabatan bukan ukuran kesuksesan.
“Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap. Penyuap dan yang disuap dimasukkan ke dalam neraka”, pesan Aab, mengutip sabda Rasulullah. Orang yang mengaku pengikut Rasulullah tetapi melanggar perintah dan larangannya, kata Aab patut dipertanyakan pengakuan itu.
Lalu kepada pemilih diingatkan menggunakan logika dan akal sehat. Jika terima suap dan diberikan untuk anak dan istri, telah menaburkan dosa. Di sisi lain, mengajari calon pemimpin korupsi ketika menjabat sehingga tidak peduli kesejahteraan rakyat, bahkan dalam benaknya bagaimana mengembalikan uang suap yang dikeluarkan. Bukan soal besar kecil uang sogok, tetapi agama dan UU Pemilu melarang. (b17)