Hening malam menyelimuti Gampong (desa) Raya Paya, Kemukiman Bungie, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie.
Sejak banjir bandang menerjang pada 26 November 2025, gelap tidak lagi sekadar ketiadaan listrik. Sunyi desa yang biasanya ramai kini hanya diisi gemericik air, desiran angin yang melewati pepohonan patah, dan suara reruntuhan rumah yang tersapu lumpur. Jalan-jalan yang biasanya dilalui warga kini berubah meninggalkan jejak lumpur pekat yang kini berdebu, sementara puing-puing kayu masih berserakan di mana-mana.
Di tengah kehancuran itu, satu per satu lampu strongking (petromaks-red) dinyalakan, menghidupkan malam dengan cahaya hangat. Cahaya itu tidak sekadar menerangi fisik, tetapi juga membangkitkan harapan dan rasa aman bagi warga yang baru saja kehilangan kenyamanan sehari-hari.
Samsul Bahri, pedagang warung kopi sekaligus warga setempat bercerita kepada Waspads. Id, Kamis (11/12) sore. Dia menelusuri rumah ibunya di Tiro. Di sudut rumah, lampu petromaks tersimpan rapi, menunggu tangan terampil yang bisa membangkitkannya dari tidur panjang.
Dengan hati-hati, ia menuangkan minyak tanah ke tangki lampu, meneteskan spiritus ke kaos lampu, dan membakarnya perlahan. Setelah beberapa kali dipompa, cahaya lampu menari-nari di dinding rumah dan halaman, menembus gelap malam yang pekat, menghadirkan kehangatan yang sejak lama hilang.
“Meski listrik padam, lampu ini tetap terang. Membuat malam terasa aman,” kata Samsul sambil tersenyum. Nyala lampu ini seperti memanggil kembali kenangan masa kecil, saat rumah-rumah desa diterangi cahaya hangat ini.
Lampu petromaks ditemukan di Jerman pada 1910 oleh Max Graetz, CEO Ehrich & Graetz. Nama Petromax berasal dari gabungan kata Petroleum dan Max Graetz. Awalnya hanya merek dagang, kini menjadi istilah umum untuk lampu berbahan bakar minyak tanah bertekanan.
Lampu ini menyalakan kaos lampu dengan spiritus, lalu dipompa hingga nyala stabil. Desainnya sederhana namun kokoh, mampu bertahan puluhan tahun, bahkan diwariskan antar generasi.
Di balai-balai pengajian desa, cahaya lampu menuntun santri membaca Al-Qur’an. Ali Basyah, warga setempat, mengenang masa kecilnya.
Dulu, malam pengajian di balai desa selalu diterangi lampu ini. Harus sabar menyalakannya, tetapi hangatnya terasa sampai ke hati. Bagi Ali, lampu ini bukan sekadar penerangan. Ia menjadi saksi sejarah, simbol ketekunan, dan pengingat akan masa lalu yang sederhana namun penuh kebersamaan. Proses menyalakan lampu petromaks membutuhkan ketelitian. Tangki harus diisi minyak tanah, spiritus diteteskan ke kaos lampu, dan kaos dibakar perlahan.
Setelah itu, tangki dipompa hingga nyala lampu stabil. Salah sedikit saja, nyala bisa redup atau mati. “Kadang saya harus mengulang dari awal. Tapi setiap kali lampu menyala, ada rasa puas dan hangat yang tak tergantikan.” kata Samsul.
Di desa, ritual menyalakan lampu ini kini menjadi aktivitas bersama. Warga saling membantu menyalakan lampu tetangga, berbagi minyak tanah, dan memastikan setiap rumah, balai pengajian, dan warung dapat diterangi. Cahaya lampu yang stabil menghadirkan rasa aman, menenangkan hati yang masih terguncang akibat banjir, dan membangun kembali solidaritas sosial yang sempat tercerai.
Selain di rumah dan balai pengajian, lampu strongking (petromaks -red) tetap digunakan nelayan untuk mencari ikan malam hari, pedagang keliling untuk berjualan, bahkan beberapa kafe dan restoran berkonsep heritage menjadikannya simbol nostalgia tempo doeloe.
Lampu ini membawa kenangan tentang masa ketika listrik belum sampai ke pelosok desa, dan malam diterangi dengan cahaya minyak tanah yang hangat. Di sela lorong rumah dan pohon tumbang, anak-anak berlarian di halaman rumah, menikmati cahaya hangat lampu strongking, sementara orang dewasa berbincang, sambil menikmati mati secangkir teh atau kopi di warung Samsul.
Setiap lampu yang dinyalakan bukan sekadar penerangan, tetapi juga simbol harapan, keberanian, dan ketekunan warga menghadapi bencana. Di Pidie, lampu petromaks menghadirkan lebih dari cahaya.
Ia menyulam masa lalu dan masa kini menjadi satu. Setiap percikan api membawa kenangan masa kecil, setiap nyala lampu menumbuhkan rasa aman, dan setiap rumah yang terang membuktikan bahwa kehidupan tetap berjalan meski dunia luar remuk.
Gelap pasca banjir bukan lagi menakutkan; cahaya lampu petromaks menghadirkan rasa hangat, nostalgia, dan kebersamaan yang tidak lekang oleh waktu. Dalam setiap rumah yang terang, di setiap balai pengajian yang hangat, dan di setiap jalan desa yang diterangi cahaya kuning lampu tua, tersimpan cerita tentang ketekunan, solidaritas, dan kenangan masa lalu.
Lampu petromaks bukan sekadar alat penerangan. Ia pengingat bahwa cahaya sejati lahir dari sejarah, kebersamaan, dan kemampuan manusia menyesuaikan diri dengan kondisi apa pun.
Di Pidie, cahaya tidak selalu datang dari listrik modern. Kadang, ia lahir dari lampu tua yang setia menerangi malam, menyulam sejarah, harapan, dan kehidupan menjadi satu.
Muhammad Riza











