SIGLI (Waspada.id): Kabupaten Pidie Provinsi Aceh dinilai memiliki modal paling lengkap untuk menjadi pusat pengembangan wisata hijau (green tourism) di Asia Tenggara.
Penilaian itu disampaikan pakar desain wisata Asia Tenggara, Prof. Nico Nicolas Leumunau, yang menegaskan bahwa Aceh memiliki kombinasi langka antara kekayaan alam, budaya kuat, dan identitas Islami yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia maupun ASEAN.
Menurut Prof. Nico, yang menempuh pendidikan tinggi di Jerman dan dikenal sebagai ahli tourism design, pengembangan wisata saat ini tidak dapat dilepaskan dari pendekatan berbasis riset lingkungan. Ia menegaskan bahwa Aceh memiliki elemen-elemen yang memenuhi standar pengembangan destinasi kelas dunia.
“Wisata modern harus berbasis data sungai dan alam. Pidie punya itu. Aceh punya itu. Kita bisa mendesain wisata budaya tanpa menghilangkan identitasnya,” ujarnya dalam wawancara telepon, Selasa (18/11).
Lebih lanjut, ia menilai bahwa Aceh memiliki keotentikan budaya yang tidak dapat disubstitusi oleh daerah lain. Dari adat hingga norma sosial, Aceh disebut memiliki nilai yang kuat untuk dijadikan narasi wisata yang berkelas internasional.
“Ini suanerik, unik. Tidak ada daerah lain seperti Aceh. Dari alam sampai adatnya, semua otentik,” tegasnya.
Ia juga menyinggung potensi penguatan narasi wisata Islami berbasis sejarah dan perjalanan peradaban Islam yang menurutnya dapat menjadi nilai jual tambahan untuk membedakan Aceh dari destinasi wisata nasional lainnya.
Mane Jadi Kandidat Kawasan Percontohan
Camat Mane, Muchtar AG, M.Pd, mengonfirmasi rencana pihaknya untuk mengundang langsung Prof. Nico ke Kabupaten Pidie pada tahun mendatang. Ia menilai Mane memiliki komposisi alam yang layak dijadikan kawasan percontohan wisata hijau.
“Mane punya potensi alam yang murni dan sangat mungkin dikembangkan sebagai destinasi wisata serta ikon daerah. Ini bisa menggerakkan ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Muchtar menegaskan bahwa seluruh konsep wisata yang dikembangkan di Aceh harus tetap berlandaskan aturan syariat, yang menurutnya justru dapat menjadi pembeda positif dibanding destinasi lain.
Ia juga membuka peluang penyelenggaraan FGD (Focus Group Discussion) dengan menghadirkan tokoh adat, akademisi, dan pelaku wisata untuk merumuskan peta jalan pengembangan sektor pariwisata Mane. (id69)












