Lumpur setinggi hampir setengah meter menutupi lantai perpustakaan SD Negeri Dayah Tanoh. Rak-rak kayu yang dulu tegak lurus kini miring, menahan buku-buku basah yang terseret arus banjir pada 26 November 2025.
Namun di balik kekacauan itu, sosok Rahmad, SPd, kepala sekolah, berdiri tegar. Tangannya penuh lumpur, matanya menatap buku-buku yang masih bisa diselamatkan, wajahnya menampilkan tekad yang tidak tergoyahkan.

Kenangan banjir bandang itu masih segar di ingatannya. Air deras tiba-tiba menelan halaman dan ruang terbuka sekolah. Rahmad tahu mesin pompa air di sungai belakang gedung harus diselamatkan, jika tidak, pasokan air bersih untuk sekolah akan hilang. Tanpa ragu, ia menunggang Yamaha NMax, melawan arus deras yang menggulung.
Sepeda motornya tergelincir. Lumpur dan air menyapu kaki dan badannya. Nyaris terseret arus, Rahmad jatuh, bergulat dengan kuatnya derasnya air. Dengan napas tertahan, ia menggenggam mesin pompa yang nyaris hanyut. Dengan kekuatan terakhir, ia berhasil menyeretnya ke tempat aman.
“Saya tidak peduli basah dan kotor. Yang penting anak-anak masih bisa mendapatkan air bersih,” katanya, suara masih gemetar akibat adrenalin yang baru reda.
Sejak saat itu, setiap hari Rahmad memimpin guru-guru menyingkirkan lumpur, menata meja, dan menyelamatkan buku-buku basah. Ia bergerak dari satu rak ke rak lain, memastikan ruang belajar tetap bisa digunakan.

Di sudut ruangan, Fadli, murid kelas 5, memunguti buku basah dengan sapu kecil. “Pak, buku ini masih bisa dibaca, kan?” tanyanya polos. Rahmad menepuk pundaknya. “Masih, Fadli. Kita jaga bersama.” tuturnya lirih.
Rabu, (17/12), bantuan dari Kemendikdasmen datang. Hj Rohana Razali, STP, Bunda PAUD Kabupaten Pidie, menyerahkan paket pendidikan dan voucher tunai Rp20 juta. Paket itu masing -masing untuk SDN Dayah Tanoh,
SD Negeri 1, dan SD Negeri 4, sementara PAUD Nurussalam Lamkawe menerima perlengkapan anak usia dini. Suara tawa anak-anak kembali terdengar, seakan menyambut kembalinya harapan di tengah sisa banjir.
Meski bantuan meringankan, perhatian Rahmad tetap tertuju pada gedung sekolah. Ia berjalan ke rak yang paling rendah, menyentuh lantai basah, memikirkan risiko setiap hujan deras berikutnya.
“Bangunan ini terlalu rendah. Setiap hujan deras, perpustakaan berubah menjadi sungai kecil. Anak-anak butuh tempat belajar yang aman,” ucapnya lirih.

Ketika matahari menembus jendela yang berembun, Rahmad melihat murid menumpuk buku yang tersisa. Senyum tipis di wajahnya menandakan harapan yang tidak pernah padam. Setiap sapuan lap, setiap buku yang diselamatkan, baginya adalah simbol keteguhan dan keberanian.
SDN Dayah Tanoh bukan sekadar sekolah langganan banjir. Di mata Rahmad, sekolah ini adalah benteng harapan. Lumpur menutup lantai dan rak, tetapi cahaya pengetahuan tetap menembus hati anak-anak.
Dan di balik setiap genangan dan derasnya arus, Rahmad berdiri sebagai penjaga, pelindung, dan pahlawan yang memastikan pendidikan tidak tenggelam bersama banjir. MUHAMMAD RIZA/Waspada.id











