AcehOpini

Reuni 212 Di Mata Ali Amran Tanjung, Wakil Ketua DPP PBB

Reuni 212 Di Mata Ali Amran Tanjung, Wakil Ketua DPP PBB
Kecil Besar
14px
REUNI 212, tidak asing lagi bagi hampir semua kalangan di Indonesia. Pertama kali digelar Reuni 212 tahun 2016, sebagai bentuk peringatan Aksi Massa Umat Islam memperjuangkan demokrasi terkait insiden penodaan agama.

Sosok Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang (Waketum DPP PBB) Dr. Ali Amran Tanjung justru mempertanyakan, apakah energi Reuni 212 yang hampir satu dekade berselang itu masih hidup atau hanya tinggal legenda.

Kilas balik gema Reuni 212 tahun ini, semula beredar di linimasa. Gema yang seolah datang dari masa lampau dan informasi itu memancing kembali ingatan jutaan orang pada pagi dingin di Monas, sembilan tahun lalu. Ketika itu, lautan putih memenuhi ibu kota, menggedor wajah politik Indonesia dengan cara paling santun.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Hampir satu dekade berselang, Ali mempertanyakan, masihkah energi itu hidup, atau hanya tinggal legenda. Fakta obrolan di warung kopi, di grup WhatsApp keluarga hingga bahkan di ruang diskusi para aktivis, isu reuni tahun ini terasa berbeda.

Ada kesadaran yang semakin kuat, bahwa aksi massa bukan lagi sekadar pernyataan moral, tetapi modal politik.

Namun masalahnya, modal politik tidak akan bernilai bila tidak diakomodir, tidak dikelola, tidak diarahkan dan tidak disalurkan dalam struktur kekuasaan.

Reuni 212, suka tidak suka, kembali menjadi cermin, apakah umat Islam siap naik kelas dari gelombang massa menjadi kekuatan elektoral. Hampir satu dekade 212, menjadi catatan penting bahwa umat Islam mampu menggerakkan massa dalam skala yang tidak dapat ditandingi kekuatan politik manapun. Berkumpul jutaan orang dari berbagai pelosok, tanpa dibiayai pihak manapun.

Namun kata Ali, kemampuan memobilisasi itu tak secara otomatis berubah menjadi kekuatan elektoral. Contoh sebelumnya menunjukkan, tanpa organisasi politik yang disiplin, energi aksi menjadi rentan hilang, diperebutkan, atau bahkan dikooptasi (diadopsi karena dianggap penting untuk menjadi anggota) oleh kekuatan yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan agenda umat.

Reuni 212 tahun 2025 menawarkan satu peluang, sekaligus ancaman. Peluang, sebagai ruang untuk menegaskan kembali peran politik umat dengan mereposisi diri sebagai gerakan moral sekaligus gerakan elektoral yang rasional.

Ancaman, jika hanya menjadi ritual nostalgia, akan tenggelam sebagai simbol tanpa efek politik yang berarti. Padahal dinamika politik saat ini menunjukkan bahwa blok pemilih Islam masih merupakan king maker potensial andaikata mampu berbicara dalam satu suara strategis.

Kunci utamanya, ‘bagaimana’ aksi dikonversi menjadi struktur politik. Reuni 212 harus melampaui euforia massa dan mulai merumuskan roadmap elektoral yang jelas, dengan minimal tiga syarat penting, yakni pertama menyusun agenda bersama.

Gerakan umat butuh platform politik yang tak lentur terhadap tekanan kekuasaan, keadilan hukum, keberpihakan ekonomi, pembelaan terhadap isu-isu moral publik serta penguatan posisi ulama dalam proses politik.

Kedua, membangun kepemimpinan kolektif. Ketergantungan pada figur tunggal tidak lagi memadai. Umat membutuhkan kepemimpinan syura yang mampu menjaga arah gerakan dari kooptasi penguasa atau kepentingan jangka pendek.

Ketiga, menyiapkan kanal elektoral. Mobilisasi tanpa kanal politik ibarat air besar tanpa wadah, menggelegar namun tak membentuk arus. Kanal ini bisa berupa koalisi isu lintas partai, poros baru politik umat, atau semacam konfederasi parpol Islam yang disiplin dan terukur.

Dalam konteks ini, Reuni 212 selain bisa menjadi arena konsolidasi dan silaturahmi spiritual, juga momen pengambilan keputusan strategis. Arah yang dipilih akan menentukan apakah gerakan 212 memasuki fase kematangan politik, atau kembali menjadi gelombang besar yang menguap tanpa jejak elektoral.

Publik Islam berharap Reuni 212, 2025 tak lagi menjadi sekadar seremoni mengenang masa lalu. Ia harus menjadi ujian kedewasaan politik. Apakah umat masih ingin berdiri di pinggir arena politik atau mulai masuk ke gelanggang dan menjadi pemain utama.

Kini, ketika bicara soal reuni 212, kita tidak punya banyak peluang seperti ini. “Kalau tahun ini umat tidak menata diri, energi kita akan habis sebagai cerita, bukan sebagai kekuatan,” kata Ali, menirukan pesan seorang aktivis.

Ali berharap, Reuni 212 tahun 2025 mampu mengartikulasikan gagasan, membangun jaringan dan memetakan kekuatan politik umat sehingga akan menjadi tonggak baru kebangkitan politik Islam di Indonesia.

Sebaliknya, bila hanya berhenti pada kerumunan, maka umat kembali melewatkan kesempatan emas untuk mengubah potensi menjadi pengaruh nyata.

“Reuni 212 tahun ini adalah pilihan sejarah, tetap menjadi gerakan jalanan, atau naik kelas menjadi kekuatan elektoral yang menentukan arah bangsa,” tandas Ali. (Waspada.id/id90)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE