PIDIE (Waspada.id): Hujan yang hampir tidak berhenti selama beberapa pekan terakhir kembali membawa kecemasan bagi petani kopi robusta di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie.
Bagi Razali, 56, petani dari Gampong Ranto Pantang, hujan panjang bukan hanya mengubah suasana kebun, melainkan juga menentukan nasib panen dan pendapatan keluarganya.
Razali pagi itu berdiri di tepi kebun robusta miliknya seluas tiga hektare. Tanah yang biasanya kering dan ramah untuk bekerja, kini basah dan licin. Biji kopi yang baru dipetik tidak bisa dijemur, sementara tumpukan hasil panen menunggu di sudut rumah.
“Kalau hujan terus, kopi tidak bisa kering. Kami petani hanya bisa menunggu, tapi menunggu bagi kami berarti pemasukan tertunda,” katanya.
Robusta adalah komoditas utama di banyak gampong di Tangse, namun karakter tanaman ini sangat bergantung pada cuaca. Hujan terlalu sering membuat proses pengeringan berhenti total. Sementara harga jual turun drastis jika kopi basah atau terlalu lama disimpan.
“Kualitas bisa turun kalau tidak cepat kering. Itu artinya harga ikut turun,” tutur Razali. “Tapi apa boleh buat, kami tidak punya mesin pengering seperti petani besar.” sambungnya lagi.
Di rumahnya, karung-karung berisi kopi basah menumpuk. Ia menghitung kembali ongkos pupuk dan tenaga panen, sambil berharap matahari cukup muncul dalam beberapa hari ke depan.
“Kalau telat kering, kami rugi. Kami tetap bayar tenaga panen, tapi harga jual tidak sebanding,” ujarnya.
Selain persoalan panen, petani robusta Tangse juga hidup berdampingan dengan risiko tanah basah di lereng perbukitan. Razali mengakui beberapa titik kebunnya mulai rawan ambles.
“Kalau hujan terus, akar jadi lembab dan tanah bisa bergerak. Kami tidak hanya pikirkan panen gagal, tapi juga keselamatan kebun,” jelasnya.
Para petani membuat jalur air darurat, memperkuat batas kebun, hingga memeriksa lereng setiap pagi demi menghindari longsor kecil.
“Kami kerja lebih capek di musim hujan, tapi hasilnya belum tentu lebih baik,” katanya.
Menurutnya, persoalan utama petani robusta adalah kurangnya fasilitas pengeringan dan ketergantungan pada cuaca. Dengan pengeringan modern, petani tidak perlu menunggu matahari untuk menjemur kopi.
“Kalau pemerintah bisa bantu mesin pengering atau rumah jemur yang tertutup, petani seperti kami tidak akan khawatir tiap musim hujan,” ucapnya.
Selain fasilitas, akses jalan menuju kebun juga menjadi isu. Jalan licin membuat mobil pengangkut hasil panen kesulitan masuk.

“Kadang kopinya tidak bisa diangkut karena jalan berlumpur. Kami harus pikul sendiri ke bawah,” kata Razali.
Meski terhimpit kondisi sulit, Razali tidak punya pilihan selain berharap hujan mereda. Ia tetap merawat kebun robustanya setiap hari, memastikan batang kopi tetap kuat.
“Hidup kami di sini memang bergantung pada cuaca. Kalau hujan berlebihan, nasib kami ikut goyang,” katanya pelan.
Bagi petani robusta Tangse, musim basah bukan hanya fase alam, tetapi gambaran nyata betapa rentannya mereka terhadap perubahan cuaca dan minimnya fasilitas pendukung.
Setiap tetes hujan yang jatuh membawa harapan bagi tanaman, tetapi sekaligus menguji keberlanjutan hidup para petani yang menggantungkan masa depan pada biji-biji kopi robusta.(id69)












