TAPAKTUAN (Waspada.id) : Tragis memang nasib ratusan santri di MUQ Aceh Selatan. Di tengah hebohnya pemberitaan media massa hingga tranding topic di jagat dunia maya medsos terkait kasus makanan bercampur belatung. Pada Sabtu (13/9) sore kasus serupa kembali terulang.
Hasil investigasi wartawan, jika sebelumnya penemuan belatung–larva warna putih bakteri dibawa lalat hijau–, dalam menu makanan jenis telur dadar. Temuan terbaru justru lebih parah lagi, belatung justru muncul dalam menu (lauk) tempe yang dicampur telur bulat.
Temuan kasus berulang buruknya kualitas menu makanan itu, mengakibatkan sejumlah santriwati pada Sabtu malam memilih tidak makan sama sekali, sedangkan sebagian santriwan sudah makan pada sore hari.
“Kasihan sekali, banyak santriwati yang tak makan nasi pada Sabtu malam kemaren. Untuk bertahan dari kelaparan, mereka makan roti dan sebagian lainnya menyantap mie instan dan makanan ringan lainnya,” ungkap sumber.
Hasil penelusuran wartawan di Tapaktuan, menu makanan sore itu terdiri dari tempe goreng, telur bulat goreng, sup sayur tanpa daging, dan nasi putih. Dari hasil perhitungan gizi rata-rata, satu porsi makanan ini mengandung sekitar 627 kkal energi, 35 gram protein, 22 gram lemak, dan 80 gram karbohidrat.
Sekilas, angka itu tampak mencukupi untuk satu kali makan. Namun ada masalah besar, kualitas bahan baku sangat rendah. Nasi yang disajikan berasal dari beras kualitas rendah dengan aroma apek, sedangkan sup sayur hambar tanpa tambahan sumber protein hewani.
Resiko higienis jauh lebih besar. Temuan belatung pada lauk mengindikasikan adanya kontaminasi sejak dari dapur hingga penyajian. Asupan mikro-nutrien minim. Tanpa variasi sayur dan daging, anak-anak rentan kekurangan zat besi, vitamin B12, dan kalsium.
Artinya, meski angka gizi terlihat cukup, kenyataannya anak-anak menerima makanan yang tidak bergizi seimbang dan tidak higienis.
Investigasi di lapangan menemukan makanan disajikan menggunakan wadah plastik biasa tanpa penutup. Dua bahaya besar mengintai ; pertama kontaminasi mikroba dan serangga.
Sebab wadah tanpa penutup menjadi undangan terbuka bagi lalat, debu, dan kotoran. Kehadiran belatung adalah bukti nyata buruknya standar higienis di dapur penyedia.
Kemudian kedua bahaya kimia dari plastik. Plastik murah yang tidak food grade bisa melepaskan zat kimia berbahaya seperti BPA dan ftalat, terutama ketika bersentuhan dengan makanan panas atau berminyak. Paparan jangka panjang zat ini telah dikaitkan dengan gangguan hormon, risiko kanker, dan masalah kesuburan.
Dengan kata lain, santri bukan hanya terancam keracunan jangka pendek, tapi juga penyakit kronis di masa depan akibat praktik penyajian yang sembrono.
Suara Sunyi Santriwati
Beberapa santriwati mengaku memilih tidak makan setelah melihat belatung di lauk.
“Kami lebih baik lapar daripada makan begitu,” ujar salah seorang santri dengan nada getir.
Keputusan itu, meski wajar, justru memperburuk kondisi gizi mereka. Anak usia remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan seharusnya mendapat asupan makanan berkualitas. Namun di MUQ, anak-anak dipaksa memilih antara lapar’ atau ‘sakit perut’.
Menurut Perbup No. 38 Tahun 2021, tanggung jawab teknis pengawasan makan-minum santri berada di tangan UPTD Pengelolaan Dayah Darul Aitami dan MUQ Dinas Dayah Kabupaten Aceh Selatan. Dengan anggaran fantastis Rp. 1,6 miliar per tahun, publik wajar bertanya kemana larinya uang rakyat jika yang tersaji hanya nasi murahan, lauk berbelatung, dan sup tanpa gizi?
Kasus ini bukan sekadar ‘makanan basibiasa. Fakta yang terkuak menunjukkan, ada pembiaran sistemik dalam penyediaan dan pengawasan makanan. Ada potensi bahaya ganda kontaminasi biologis (belatung, bakteri) dan kimia (plastik beracun). Ada ancaman nyata terhadap masa depan generasi Qur’ani, yang justru harusnya diperlakukan istimewa.
Melihat kondisi ini Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan diminta segera mengambil langkah tegas diantaranya ; segera memutus kontrak penyedia makanan yang terbukti lalai. Audit menyeluruh atas anggaran makan-minum Rp1,6 miliar. Pemeriksaan kesehatan santri yang sudah terlanjur mengonsumsi makanan berbelatung itu.
Kemudian penggantian wadah penyajian dengan peralatan food-grade dan berpenutup.Transparansi laporan gizi dan kualitas makanan setiap bulan kepada orang tua santri.
Investigasi ini menegaskan bahwa program makan-minum di MUQ bukan sekadar gagal, melainkan telah berubah menjadi ancaman serius bagi kesehatan anak-anak santri yang sedang menimba ilmu hafalan Al-Quran.
Dikonfirmasi terpisah, Plt. Kepala Dinas Dayah Aceh Selatan, Salmi, membenarkan pihaknya sudah menerima laporan terkait temuan belatung yang berulang itu.
“Saya sudah berkoordinasi dengan pihak terkait dan segera menindaklanjuti penyedia makanan. Senin kita panggil pihak penyedia untuk dimintai keterangan dan diberikan teguran administrasi,” ujar Salmi.
Salmi mengakui bahwa pihak penyedia atau vendor sebelumnya juga pernah mendapat teguran. Namun, insiden memalukan kembali terjadi sehingga menimbulkan keresahan publik.
“Saya sangat menyesalkan kejadian ini. Jangan sampai anak-anak kita, santri yang sedang menuntut ilmu agama, harus mengorbankan kesehatan mereka. Kami berharap kejadian seperti ini benar-benar menjadi yang terakhir,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Salmi menyampaikan harapan sekaligus peringatan keras. “Kami akan evaluasi total penyedia makanan. Kalau perlu, kontrak akan ditinjau ulang. Harapan saya, semua pihak serius menjaga kualitas dan kebersihan makanan. Santri harus mendapatkan hak mereka makanan bergizi, sehat, dan layak. Tidak ada tawar-menawar soal itu,” tegasnya. (id85)