Lumpur itu dingin, berat dan melekat. Pagi Minggu, (21/12), ketika sebagian warga Pidie masih menyibak sisa kantuk, H. Sarjani Abdullah MH, sudah berdiri di tengah jalan gampong (desa) yang berubah menjadi kubangan.
Sepatu botnya tenggelam setengah betis. Di tangan kirinya, sekop, di wajahnya, garis letih yang tidak ditutup-tutupi. Bupati Pidie itu turun ke lumpur sebelum kata-kata disiapkan.
Gotong royong massal tahap kedua pembersihan pascabanjir bandang dipimpinnya langsung. Sejak pukul 08.00 WIB hingga menjelang malam, H Sarjani tidak berpindah dari lapangan. Bersama Wakil Bupati Al Zaizi, Sekda Drs. Samsul Azhar, para asisten, kepala SKPK, ASN, dan warga, ia mengangkat lumpur dari rumah warga, pasar, jalan, hingga perkantoran di Mutiara, Mutiara Timur, dan Kembang Tanjong.

Banjir bandang telah pergi, tetapi bekasnya tinggal. Lumpur menutup pintu rumah, mematikan lapak dagang, menyumbat saluran air, dan menghentikan rutinitas. Di tengah situasi itu, H Sarjani memilih cara paling sederhana untuk menjawabnya: bekerja.
Sekop diayunkan. Ember dipindahkan. Lumpur disingkirkan, setumpuk demi setumpuk. Di beberapa titik, H Sarjani berhenti sejenak. Ia mendengar. Seorang ibu bercerita tentang dagangan yang rusak. Seorang petani mengeluhkan sawah yang tertutup pasir.
Tidak banyak janji diucapkan. Hanya instruksi singkat kepada kepala dinas: pasar dulu, jalan utama dulu, rumah warga jangan ditinggalkan. “Kalau pemerintah hanya datang melihat, luka warga tidak akan kering,” ucapnya pelan.
Menjelang siang, panas menyengat. Keringat bercampur lumpur mengalir di wajah para pekerja. Namun gotong royong tidak surut. ASN bekerja tanpa jarak dengan warga. Tidak ada pangkat, tidak ada jabatan yang ada hanya tenaga yang diuji. Sekda Samsul Azhar menyebut kehadiran langsung bupati menjadi bahan bakar semangat. “Kalau beliau masih di lapangan, kami tidak punya alasan berhenti,” katanya.

Di pasar Kembang Tanjong, lumpur mulai tersingkir. Lapak-lapak yang sebelumnya terkubur perlahan muncul. Harapan ikut terangkat bersama sekop. “Kalau pasar bersih, kami bisa hidup lagi,” kata seorang pedagang, nyaris berbisik.
Saat senja turun, lampu kendaraan dinas menyala, memantul di genangan sisa lumpur. H Sarjani masih di sana. Baju kotor. Tenaga terkuras. Tetapi pekerjaan belum selesai. Gotong royong hari itu memang tidak menghapus semua dampak banjir. Namun ia menegaskan satu hal: kepemimpinan bukan soal berdiri di tempat aman, melainkan keberanian untuk turun ke titik paling berat.
Di Pidie, hari itu, daerah hadir bukan lewat baliho bantuan, melainkan lewat tubuh seorang bupati yang memilih basah oleh lumpur bersama rakyatnya.
Muhammad Riza











