Banjir bandang 26 November 2025 yang memporak-porandakan Provinsi Aceh masih meninggalkan trauma bagi warga Tangse, Kabupaten Pidie. Tidak ingin musibah serupa terulang, ratusan warga menyisir hulu Sungai Krueng Inong, menjaga hutan dan sumber air yang menjadi penyangga gampong (desa-red) mereka. Berikut laporan wartawan Waspada.id, Muhammad Riza di Sigli, Pidie, Aceh.
Pagi itu, langit di pegunungan Tangse masih biru dan terbuka. Kabut tipis bergelayut di punggung hutan Desa Nembak Badeuek, sementara air Krueng Inong mengalir jernih, memantulkan cahaya matahari yang turun perlahan.
Di tempat inilah, puluhan warga Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, memulai langkah mereka bukan untuk mencari emas, melainkan menjaga kehidupan.
Pada Sabtu (27/12), sekitar 60 orang warga dari Desa Neubok Badeuek, Pulo Mesjid 1, dan Pulo Mesjid 2 menyisir kawasan Hulu Sungai Krueng Inong. Mereka bergerak berkelompok, menyusuri hutan, bantaran sungai, hingga kaki-kaki gunung di Neumbak Badeuek.

Penyisiran itu menjadi bentuk perlawanan terbuka terhadap aktivitas tambang emas ilegal yang mereka yakini telah merusak alam selama berbulan-bulan, bahkan hingga satu tahun terakhir. “Ini bukan lagi soal ekonomi. Ini soal keselamatan,” ujar seorang warga Pulo Mesjid sambil menunjuk bekas galian di bantaran sungai.
Tanah terkelupas, batu-batu berserakan, dan jejak alat berat terlihat jelas. Bekas jalur eskavator dan beko memotong hutan yang sebelumnya rapat dan sunyi.
Warga mengaku kemarahan mereka memuncak karena penambangan itu bukan hanya mengeruk tanah, tetapi juga menebang hutan dan mengubah alur sungai.
Di kawasan hulu, kerusakan sekecil apa pun bisa berujung petaka di hilir. “Kalau kayu-kayu ini hanyut saat hujan besar, kampung kami bisa hancur,” kata warga lainnya.
Usman, seorang tokoh masyarakat dari Neubok Badeuek menjelaskan, penyisiran dilakukan setelah musyawarah panjang. “Gampong Pulo mesjid satu dan Pulo Mesjid dua, juga Gampong Pulo Mesjid, serta Gampong Seunong, semua sepakat. Kita cek langsung ke hulu sungai, koordinasi dengan warga Krueng Inong Tangse. Kita ingin lihat sendiri apa yang sudah terjadi,” kata warga tersebut.
Hasilnya membuat warga berduka. Bekas-bekas penambangan ditemukan di Gunong Neumbak Badeuek dan sepanjang bantaran sungai. Alur-alur kecil yang dulu jernih kini tertutup lumpur. “Ini bukan lubang kecil. Ini perusakan,” ujar seorang warga dengan suara tertahan.
Al-Qur’an mengingatkan manusia agar tidak merusak bumi setelah ia diciptakan dengan keseimbangan. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya,” (QS. al-A’raf: 56).
Dalam tafsir singkatnya, ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk perusakan terutama yang mengancam kehidupan banyak orang adalah pengkhianatan terhadap amanah Allah SWT.
Warga Tangse sadar, mereka hidup di kaki Kawasan Ekosistem Ulu Masen salah satu bentang alam hutan terpenting di Aceh, seluas sekitar 738.000 hingga 750.000 hektare, yang membentang di lima kabupaten, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya. Bagi Tangse, hutan ini bukan sekadar kawasan konservasi, melainkan penentu hidup dan mati.

“Hulu Krueng Inong dan Krueng Sikuleh itu masuk kawasan konservasi Ulu Masen. Ini daerah aliran Sungai Teunom, Lam Beusoe, dan bermuara ke Aceh Jaya. Kalau rusak di sini, dampaknya lintas kabupaten,” kata Zainuddin warga setempat.
Menurut pengakuan warga, sebelum melakukan penyisiran, tokoh masyarakat, Panglima Uteuen, dan Mukim telah melaporkan aktivitas tambang emas ilegal itu kepada aparat penegak hukum. Namun laporan tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti. Sudah berbulan-bulan kami lapor. Tapi alat berat masih bekerja,” kata seorang warga.
Kekecewaan itulah yang akhirnya mendorong warga turun langsung ke hutan. Data lapangan warga menyebutkan, pengerukan tanah akibat aktivitas tambang ilegal telah merusak sekitar 20 kilometer daerah aliran sungai dan alur-alur kecil di rimba Ulu Masen.
Dampaknya tidak hanya ekologis, tetapi juga sosial mengancam sawah, kebun kopi, dan permukiman warga di Tangse yang berada di lembah sempit dan rawan banjir bandang. Tangse bukan wilayah asing dengan bencana.
Tragedi banjir bandang besar pada 2011 dan 2012 masih membekas dalam ingatan warga. Hutan Ulu Masen sejatinya berfungsi sebagai penyerap air alami. Ketika hutan rusak, hujan turun tanpa kendali, sungai meluap tanpa peringatan.
“Dunia ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kalian sebagai pemeliharanya,” sabda Nabi Muhammad SAW (HR. Muslim). Hadis ini kerap dikutip para ulama sebagai peringatan bahwa keindahan alam bukan untuk dihabiskan, melainkan dijaga karena manusia kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Selain ancaman banjir dan longsor, kerusakan hutan Ulu Masen juga memicu konflik satwa liar. Gajah Sumatera yang kehilangan habitat kerap turun ke perkebunan warga Tangse. “Kalau hutannya rusak, mereka cari makan ke kebun kami,” ujar Imran, seorang petani kopi.
Warga Tangse kini memperketat pengawasan. Mereka sepakat, jika ada warga yang terlibat dalam tambang ilegal, akan diperingatkan dan ditindak sesuai kesepakatan adat. Pengawasan itu terus dilakukan, termasuk pada 29 Desember, sebagai bentuk ikhtiar menjaga hulu sebelum bencana kembali datang.
Di tengah penyisiran itu, alam Tangse tetap memancarkan keindahannya. Air Krueng Inong masih mengalir bening. Langit biru membentang di atas pegunungan. Namun keindahan itu kini terasa rapuh seperti amanah yang sewaktu-waktu bisa hilang jika manusia lalai.
Bagi warga Tangse, menjaga hulu bukan sekadar aksi lingkungan. Ia adalah ibadah sosial. Menyelamatkan hutan berarti menyelamatkan kampung.
Menjaga air berarti menjaga kehidupan. Dan di bawah langit biru Tangse, mereka percaya satu hal: rezeki boleh dicari, tetapi keselamatan orang banyak dan kelestarian alam adalah tanggung jawab bersama.
Muhammad Riza











