Hujan yang mengguyur Pidie selama tujuh hari itu bukan sekadar cuaca buruk. Dari malam ke malam, ia berubah menjadi ancaman yang tidak dapat tidur. Atap rumah berdentum seperti dipukul palu, sungai mengaum seperti binatang terluka, dan tanah terus menggeliat, seakan menunggu saat patah.
Ketika hujan akhirnya berhenti pada Kamis (27/11) siang , tidak ada sorak. Yang ada hanya hening yang menampar hening yang memperlihatkan apa yang tertinggal setelah air pergi.
Di Blang Asan, Kota Sigli, Said Usman tidak langsung masuk ke rumahnya. Ia berdiri di ambang pintu, terpaku pada pemandangan yang mengingatkannya pada reruntuhan kapal karam: lemari yang tumbang, pakaian berkelindan dengan lumpur, kasur terlipat seperti tubuh yang patah.
“Kami tidak sempat lari,” katanya, suaranya pecah. “Airnya datang seperti dinding, seperti tembok yang berlari ke arah kami.”tuturnya lirih.
Anaknya yang berumur 8 tahun duduk di sebelahnya, memegang boneka lusuh yang separuh tenggelam lumpur. Sang istri menjemur pakaian dengan tangan gemetar, sesekali berhenti untuk menatap ruang dapur yang tinggal setengah.

Bau lumpur dan sampah tikam hidung. Rumah itu sunyi, tetapi sunyinya tidak menenangkan, itu sunyi dari sesuatu yang telah lepas.
Di Bambi, Peukan Baro, Lisna masih mendengar suara banjir itu setiap kali memejam mata. Bukan suara air biasa, melainkan suara bergemuruh yang seperti “seribu kaki besar berlari dari arah sungai”.
“Waktu air masuk lewat pintu belakang, saya tidak sempat berpikir,” katanya, menatap lantai yang masih basah. “Kaki saya tenggelam sampai lutut, lalu pinggang. Saya cuma bisa tarik anak saya. Setelah itu air menutup suara saya sendiri.” kisahnya.
Ia menggambarkan air itu seperti binatang yang mengamuk menerjang apa pun, menumbangkan apa pun, dan meninggalkan apa pun tanpa bentuk.
Tangse: Tempat Di Mana Waktu Seakan Terhenti
Namun drama paling kelam bukan terjadi di rumah-rumah. Ia berlangsung diam-diam di perut hutan Tangse, jauh dari suara sirene dan lampu kota.
“Tiga puluh KK kami masih di atas sana,” bisik Keuchik Blang Pandak, Muhammad Yanis, seolah takut mengucapkan kenyataan itu terlalu keras. “Sampai hari ini, tidak ada yang bisa menembus lokasi.” katanya.

Puluhan warga itu berlari Rabu pagi setelah mendengar gemuruh besar dari pegunungan. Tanah berguncang. Batu-batu besar meluncur. Awan gelap turun rendah, diikuti gelombang air bah yang menghantam tiga dusun sekaligus.
Mereka berlari tanpa alas kaki, beberapa tanpa sempat membawa anak mereka dengan benar. Ada yang menyeret anaknya dari ketiak, ada yang menggendong orang tua yang tidak lagi kuat berdiri, ada yang kehilangan arah dan hanya mengikuti suara teriakan.
Sejak itu, tidak ada kabar pasti. “Mereka hanya punya makanan yang sempat diambil, mungkin sedikit beras kering atau biskuit,” kata Panglima Sagoe Tangse, Tgk Junaidi.
“Kalau hujan turun lagi, api mereka akan padam. Kalau malam datang, tidak ada lampu. Saya tidak tahu bagaimana kondisi mereka sekarang.” tuturnya dengan mata berbinar.
Ia menutup wajahnya sebentar, menahan napas. “Saya hanya berharap mereka masih kuat.” ucapnya lagi.
Jalan Amblas
Di jalur Blang Dhot–Rantau Panyang, jalan yang kemarin dilewati motor kini berubah seperti jurang segar yang menganga. Aspal terbelah rapi seakan dipotong oleh pisau raksasa. Kedalamannya lima meter, lebarnya empat meter lebih.
Kayu-kayu besar bersilangan seperti tulang patah. Batu-batu sebesar kerbau menghalangi jalan. Suara air dari tebing terdengar seperti laras drum yang dipukul bertubi-tubi.
“Tidak ada alat berat yang bisa masuk,” kata Camat Tangse, Abdul Jafar. “Medan ini bukan lagi jalur. Ini arena amukan air.”

BPBD mencatat setiap langkah. Tanah di bawah kaki tim penyelamat hidup—bergerak, menggelincirkan sepatu, dan mengancam menelan apa pun.
“Kami tidak bisa menembus lokasi. Setiap menit hujan turun, kami harus mundur.” katanya.
Tiga rumah rusak parah. Dua kios hanyut. Padi siap panen yang baru menunggu beberapa minggu lagi lenyap. “Ada 471 jiwa terisolasi,” kata Iskandar, Ketua Pemuda. “Tidak ada makanan, tidak ada listrik, anak-anak mulai panas.” sambutnya lagi.
Ia mengangkat ember kosong yang sebelumnya berisi beras. “Kosong, lihat,” katanya. “Kami hanya bisa menunggu.”
Di langit, awan hitam menggantung lagi.
Warga melihatnya dengan tatapan yang sama: tatapan orang yang sudah belajar bahwa hujan bukan lagi teman.
Status Tanggap Darurat
Pemerintah Kabupaten Pidie menetapkan Tanggap Darurat 14 Hari. Angkanya tercatat jelas: 94 gampong terdampak, 4.571 jiwa mengungsi.
Tetapi di Blang Pandak, angka itu tidak terdengar. Tidak ada jaringan telepon, tidak ada pengeras suara, tidak ada mobil yang masuk.Yang mereka punya hanyalah doa dan gemuruh hutan yang belum sepenuhnya tenang.
Pidie hari ini, Jumat (28/11) tidak lagi terendam, tetapi air surut justru membuka luka-luka yang sebelumnya tersembunyi. Rumah-rumah yang porak-poranda, jalur yang hilang ditelan longsor, dan 30 keluarga yang belum pulang dari hutan semuanya seperti bab dari buku bencana yang belum ditutup.
Dan hingga suara mesin alat berat terdengar dari kejauhan, Pidie belum sepenuhnya selamat. Muhammad Riza/WASPADA.id












