ACEH UTARA (Waspada): Para pemuda yang tergabung dalam barisan Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMuR) menggelar aksi unjuk rasa dengan menuding DPRA sengaja mewariskan penjajahan tanah masyarakat adat di Batee VIII, Kamis (30/5).
Hal itu disampaikan Ketua SMuR Rizal Bahari dalam aksi unjuk rasa di Batee VIII Kab. Aceh Utara.
Dikatakannya, kemampuan DPRA dinilai tumpul dalam menyikapi ledakan konflik agraria di Aceh. Ketumpulan DPRA dalam berfikir dipertontonkan melalui carut marut konflik masyarakat Batee VIII dengan PT Setya Agung yang hampir 3 tahun berlangsung belum juga menghasilkan solusi penyelesaiannya. Sehingga masyarakat adat Batee VIII terus merasakan penindasan yang dilakukan oleh perusahaan.
DPRA selaku lembaga negara tidak pernah merasakan pedihnya nadi masyarakat yang kehilangan tanah adat atas serakahnya perusahaan yang menjajah. Padahal, pada tahun 2018 mencatat luas lahan yang bersengketa terjadi pada empat kabupaten di provinsi Aceh mencapai 5.420,5 hektare. Dengan jumlah korban konflik agraria 4.080 jiwa serta 57 orang dipidana dengan tuduhan memasuki lahan orang lain tanpa izin.
Rizal Bahari menilai DPRA belum serius menangani problem agraria di Aceh, hingga menimbulkan konflik bermetamorfosis menjadi semakin kompleks. Sehingga, pembiaran terhadap konflik terus berulang dan menjadi warisan turun-temurun dari setiap pemerintahan. Padahal, jumlah konfliknya terus terakumulasi dan sewaktu-waktu bisa terjadi ledakan konflik agraria secara besar besaran di aceh.
Sebagai contoh, lanjut Rizal, konflik agraria di Desa Batee VIII, Aceh Utara, yang menjadi warisan pemerintah sebelumnya. Konflik ini melibatkan masyarakat Batee VIII dan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT setya Agung.
Sebelumnya, 15 Maret 2022 silam, masyarakat Kilometer VIII telah melakukan audiensi dengan DPRA. Dalam pertemuan tersebut DPRA menjanjikan pembentukan panitia khusus (Pansus) untuk menangani persoalan konflik agraria di KM VIII. Namun hingga sekarang pembahasan tentang Pansus tersebut tak kunjung dilaksanakan oleh DPRA, alih-alih penyelesain konflik, nyatanya DPRA malah sengaja mengabaikan nasib tanah adat masyarakat Batee VIII.
Di tengah konflik berlangsung pada 28 Mei 2024, masyarakat Batee VIII kembali memenuhi undangan dari Muspika Simpang Keramat untuk melakukan dialog dengan pihak PT Setya Agung dengan harapan tercapainya kesepakatan di antara dua pihak yang bersengketa.
Dalam pertemuan tersebut masyarakat meminta perusahaan untuk melakukan pengukuran ulang HGU secara keseluruhan demi memperjelas sampai mana tata batas HGU perusahaan yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional. Karena, lahan produksi perusahaan diduga telah menyerobot tanah adat masayarakat Batee VIII. Namun pihak perusahaan PT Setya Agung tidak menerima usulan masyarakat dengan dalih biaya pengukuran lahan terlalu mahal serta tidak adanya persetujuan dari bos besar perusahaan yang berada di Medan. Mendengar hal tersebut akhirnya masyarakat Batee VIII bubar dengan rasa kesal karena tidak mencapai kesepakatan.
“Menimbang penyelesaian konflik agraria di Batee VIII tidak mampu mendapatkan solusi diantara pihak bersengketa maka Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMuR) dan front Batee VIII menggugat, mendesak DPRA memanggil BPN untuk membuka data HGU PT Setya Agung dan segera menghentikan aktivitas perusahaan sebelum konflik yang terjadi pada masyarakat Batee VIII dan PT Setya Agung dinyatakan selesai,” ujarnya.
Rizal menegaskan jangan sampai dengan kinerja DPRA yang lamban masyarakat akan menilai bahwa DPRA bermain mata dengan perusahaan lalu melakukan pembiaran terhadap persoalan rakyat Aceh.(b09)













