Saat waktu Subuh masih membalut langit Blangpidie dalam sunyi, Mushalla Pendopo Bupati Aceh Barat Daya terlihat berbeda dari biasanya. Lampu-lampu menyala lembut, angin pagi berembus pelan, dan langkah kaki jamaah pelan namun mantap menuju saf-saf yang mulai terisi.
Pada pagi yang dingin itu, tidak hanya warga sekitar yang hadir. Bupati Abdya Dr. Safaruddin, SH, M.Si, Wakil Bupati Zaman Akli, kepala SKPK, camat, hingga para keuchik tampak menempati barisan. Semua datang dengan satu tujuan: menghidupkan salat Subuh berjamaah dan melaksanakan program Siaga Sujud Sajdah (S3).
Di depan para jamaah, berdiri seorang ulama yang dikenal luas karena kedalaman ilmu dan pendekatan dakwahnya yang santun—Tgk H. Farmadi ZA, MSc, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Dayah Manyang. Suaranya tenang namun tegas, mengalun merdu saat memimpin bacaan ayat demi ayat.
Namun momen paling menggetarkan muncul ketika ayat sajdah dibacakan. Jamaah serempak bergerak, dengan tubuh merunduk dalam sujud panjang yang hening. Tidak ada suara—kecuali desir napas dan getaran hati yang ingin dekat dengan Sang Pencipta.
“Jika saat kita membaca ayat sajdah dalam shalat, maka hendaknya kita langsung bersujud. Sujud itu bukan sekadar gerakan. Ia adalah simbol tunduk, taat, dan pengakuan bahwa manusia hanya hamba,” ujar Abu Farmadi usai salat, dalam tazkirah singkat yang penuh makna.
Menurutnya, sujud adalah salah satu amalan yang paling dibenci iblis. “Ketika anak Adam membaca ayat sajdah lalu bersujud, setan menjauh sambil menangis,” tuturnya, mengutip hadis Rasulullah SAW.
Di sinilah ruh dari Program Siaga Sujud Sajdah (S3) berasal: mengembalikan kembali kekuatan makna sujud dan menghidupkan keistimewaan Subuh—waktu ketika dunia masih tenang, namun doa-doa dikabulkan.
Program ini bukan yang pertama dilakukan Abu Farmadi. Sebelumnya, ia telah membawa gerakan yang sama ke berbagai masjid di Banda Aceh, Aceh Besar, hingga Labuhan Haji, Aceh Selatan—wilayah yang tak jauh dari Dayah Manyang Puskiyai Aceh, tempat ia menetap dan membina santri.
Dalam tazkirahnya, ia mengingatkan jamaah tentang kalimat yang sederhana namun menghunjam: “Siapa yang menjaga Subuhnya, maka Allah akan menjaga hidupnya.” kutip Abu Dayah Manyang Puskiyai Aceh Farmadi.
Menurutnya, Subuh adalah titik awal kualitas hari seseorang. Bila baik Subuhnya, baik pula jalannya kehidupan hari itu.
Bupati Abdya, Safaruddin, menyambut baik gerakan ini. Baginya, program tersebut bukan hanya penguatan ibadah, tetapi juga penguatan karakter masyarakat. “Ini program yang menghidupkan kembali ruh masyarakat muslim Abdya,” ujarnya. “Semoga dapat menjadi budaya dan sumber kekuatan moral bagi kita semua.”
Salat telah usai. Jamaah mulai bubar sembari bersalaman, sementara langit perlahan mulai cerah. Namun bagi sebagian orang—pagi itu bukan sekadar melaksanakan kewajiban, melainkan momentum spiritual yang meninggalkan bekas di dada.
Program Sujud Sajdah bukan sekadar ibadah. Ia adalah ajakan kembali pada kesederhanaan: tunduk, sujud, dan menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Dan mungkin—di antara sujud panjang yang hening itu—ada doa-doa yang terangkat menuju langit, dan ada hati yang kembali pulang. Syafrizal/WASPADA.id












