Oleh Dr. Tgk. H. Zulkarnain, MA (Abu Chik Diglee)
Imam Ibnu Ishaq (ابن اسحاق ) memiliki nama lengkap Muhammad Bin Ishaq Bin Yasar Bin Khiyar Al Madiny adalah Maula Qays Bin Makhramah Bin Al Muthalib Bin Abdul Manaf. Imam Ibnu Ishaq lahir di Madinah pada tahun 80 Hijriah dan wafat di Baghdad pada tahun 153 Hijriah dalam usia 73 tahun, dan jenazahnya dimakamkan di sisi Timur kompleks pemakaman Khayzuran – Baghdad.
Sementara kakek Imam Ibnu Ishaq yang bernama Yasar adalah tawanan perang Khalid Bin Waled dalam peperangan melawan Persia. Yasar, kakek Imam Ibnu Ishaq berasal dari kota Ainun Tamar sebuah kota kuno di Irak yang tidak jauh dari kota Khufah. Sedangkan Yasar Bin Khiyar, kakek dari Imam Ibnu Ishaq ini merupakan tawanan perang Irak pertama yang dibawa ke Madinah.
Imam Ibnu Ishaq adalah seorang tabi’in besar yang pada masa kanak-kanaknya pernah bertemu dengan Anas Bin Malik sahabat Nabi Saw, namun tidak sempat meriwayatkan hadist darinya karena Imam Ibnu Ishaq waktu itu masih kecil. Sedangkan Anas Bin Malik kemudian wafat pada tahun 93 Hijriah pada saat itu Imam Ibnu Ishaq baru berusia 13 tahun.
Pengembaraan keilmuan Imam Ibnu Ishaq terhitung panjang, dimulai dari Madinah ia pergi ke Khufah kemudian ke Ray, Hirah, Jazirah, dan Iskandariyah (Mesir) pada tahun 115 Hijriah untuk berguru tentang hadist kepada Ubaidillah Bin Mughirah, Yazid Bin Hubaib, dan Tsamamah Bin Syafi’i.
Akhirnya, di penghujung pengembaraan keilmuannya, Imam Ibnu Ishaq menetap di Baghdad sampai ia wafat. Di antara guru-gurunya adalah Ishaq Bin Yasar ayahnya sendiri. Kemudian beliau berguru kepada Musa Bin Yasar (pamannya), Aban Bin Usman, Basyir Bin Yasar, Sa’id Bin Abi Hind, Sa’id Al Maqbury, Abbas Bin Sahl Bin Sa’ad, Abdurrahman Bin Hurmuz Al A’raj, Muhammad Bin Ibrahim Al Taymi, Abu Ja’far Al Baqir, Fatimah Binti Al Mundzir, Ibnu Syihab Al Dzuhri, dan lain-lainnya.
Beberapa pandangan ulama tentang Imam Ibnu Ishaq sangatlah mengaguminya. Di antaranya adalah imam Muhammad Idris Al Syafi’i yang mengatakan, bahwa siapapun yang mendalami sirah dan maghazi (biografi dan sejarah peperangan yang diikuti Nabi Saw), maka ia berhutang budi kepada Imam Ibnu Ishaq.
Kemudian, imam Al Marzubani mengatakan bahwa Imam Ibnu Ishaq adalah orang pertama yang menghimpun maghazi Rasulullah Saw dan menyusunnya dalam sebuah karya tulis yang luar biasa. Kecerdasan Imam Ibnu Ishaq yang di atas rata-rata ulama lain pada masa itu, membuat khalifah Al Manshur penguasa Baghdad meminta kepada Imam Ibnu Ishaq untuk menulis kisah dan riwayat nabi-nabi, sejak nabi Adam sampai nabi Muhammad Saw. Maka Imam Ibnu Ishaq kemudian menulis kitab yang diberinya judul Sirah Nabawiyah.
Selanjutnya catatan sejarah menarasikan bahwa Imam Ibnu Ishaq dan Imam Malik Bin Anas bersahabat baik, meskipun kompetisi sehat keilmuan dari kedua ulama tersebut juga terjadi. Imam Ibnu Ishaq mendalami sejarah dan hadist, sedangkan Imam Malik Bin Anas mendalami hadist dan fikih. Namun Imam Ibnu Ishaq lebih longgar dalam menyaring hadist (mutawasith) karena objek ulasannya sejarah. Sedangkan Imam Malik Bin Anas lebih selektif (mutasyadid) dalam hal hadist karena fokusnya pada aspek fikih.
Pada saat Imam Ibnu Ishaq ingin melakukan pengembaraan ilmiahnya ke berbagai wilayah, maka Imam Malik Bin Anas memberikan bekal untuk diperjalanan kepada Imam Ibnu Ishaq dalam bentuk uang sebanyak 50 dinar (kurs atau nilai tukarnya sekarang kurang lebih Rp166 juta) dan uang itu adalah penjualan setengah dari hasil panen gandum dan kurma Imam Malik Bin Anas pada tahun itu.
Di sisi lain, Imam Ibnu Ishaq adalah ulama hadist yang tsiqah (terpercaya) terutama dalam bidang hadist-hadist yang menyangkut sejarah atau sirah. Pernyataan tentang hal tersebut disampaikan oleh murid-murid terkemuka dari Imam Ibnu Ishaq sendiri, seperti Imam Sufyan Al Tsauri, Hammad Bin Zaid, Hammad Bin Salamah, Abu ‘Awanah, Ibnu Aun, Sufyan Bin Uyainah, Yunus Bin Bukair, dan Al Buka’i.
Imam Ibnu Ishaq sebagai seorang ulama terkemuka pada zamannya, tentunya memiliki banyak karya ilmiah, di antaranya adalah kitab al Siyar al Maghazi, kitab Tarikh al Khulafa’, kitab Akhbar Kulaib Wa al Jassas, kitab al Hurrab, dan yang paling monumental adalah kitab Sirah Nabawiyah dan kitab Siyar al Maghazi.
Ada juga kitab-kitab lain yang dikaitkan dengan nama besar Imam Ibnu Ishaq, seperti kitab al Siyar al ‘Arab al Arba’, kitab Hadits al Isra’ Wa al Mi’raj, dan kitab Akhbaru Shiffin. Merujuk kepada beberapa keterangan yang bersumber dari Ibnu Hisyam dan Ibnu Jarir al Thabari, bahwa kitab Sirah Nabawiyah Imam Ibnu Ishaq ditulis dalam tiga bahagian.
Pertama, menyangkut mubtada’ (pengantar) yang mengulas tentang sejarah beberapa rasul dan nabi sebelum nabi Muhammad Saw, dilanjutkan dengan pembahasan tentang sejarah bangsa Yaman pada masa jahiliah, kabilah-kabilah Arab dan tata cara ibadah mereka, sejarah kota Mekkah dan garis keturunan nabi Muhammad Saw.
Kedua, membahas tentang utusan (mab’ats), berisi ulasan tentang kehidupan Rasulullah Saw baik ketika masih di Mekkah maupun setelah berada di Madinah. Ketiga tentang peperangan Nabi Saw (al maghazi).
Di antara sekian banyak keistimewaan kitab Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Imam Ibnu Ishaq adalah terletak pada metode pengumpulan informasi yang melampaui kebiasaan cara penulisan di zaman itu, yaitu menggunakan metode wawancara terstruktur dalam pengumpulan data untuk kemudian diklasifikasikan dan dinarasikan.
Imam Ibnu Ishaq mengumpulkan informasi melalui wawancara dengan berbagai narasumber, termasuk dengan sahabat Nabi Saw dan orang-orang yang dekat dengan masa kenabian dan Imam Ibnu Ishaq juga menyusun peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa dengan runtut seperti untaian mata rantai mutiara yang indah untuk dinikmati oleh pembaca dan penggemar catatan sejarah.
Kitab Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Imam Ibnu Ishaq sangat berpengaruh dan menjadi dasar serta referensi penting bagi muarikh (sejarawan) Islam pada periode berikutnya, seperti Imam Ibnu Hisyam, Imam al Wakidi, dan Imam Ibnu Jarir al Thabari. Pada sisi yang lain, meskipun ada sedikit kritik berkaitan dengan adanya percampuran hadist dengan periwayatan sejarah yang dilakukan oleh Imam Ibnu Ishaq, namun secara umum dalam kajian hadist, Imam Ibnu Ishaq dipandang baik, capable, dan kredible, dengan dasar asumsi isnad atau mata rantai transmisi hadist Imam Ibnu Ishaq yang akurat dan dapat dipercaya.
Pada aspek yang lain, Imam ibnu Ishaq sendiri oleh para ulama ahli hadist diberi pujian (al ta’dil) dengan sebutan shaduq (orang yang tulus lagi dapat dipercaya). Wallahua’lam. WASPADA.id
Penulis adalah Dosen Hadist Ahkam dan Hukum Keluarga Islam di Asia Tenggara Pascasarjana IAIN Langsa