KUTACANE (Waspada): Darmawan mengancam akan melaporkan salah satu pesantren yang berkedudukan di Jalan Pancing Medan terkait anaknya telah dikeluarkan dari lembaga pendidikan Islam tersebut.
“Kan sangat kejam. Sudahlah mengeluarkan anak saya, mereka juga menahan data E-mis anak saya,” ujar Darmawan, orangtua M Pulih, warga Desa Mbatu Bulan Asli Kecamatan Babussalam Aceh Tenggara, Sabtu (18/3).
Darmawan mengaku sudah mempertanyakan langsung melalui WhatsApp kepada kepala sekolah kelas 82 yayasan pondok pesantren yang berkedudukan di Jalan Pancing, Medan, tersebut.
Namun sayangnya kata dia, jawaban oknum Kepsek masih tetap mengecewakan, alias tetap mengedepankan uang dan peraturan kendati putranya, M Pulih dikeluarkan. “Sesuai dari aturan yayasan semua santri/wati yang keluar (pindah) dari IC, wajib lunas dulu kewajiban, baru dikeluarkan surat pindah,” ujarnya.
Darmawan mengakui, masih punya utang senilai Rp1.500.000. “Tapi persoalan yang saya alami tentu jauh berbeda dengan anak yang minta pindah, atau mengundurkan diri. Sementara anak saya dikeluarkan atas ketidaksanggupan mereka membina anak saya, sehingga berulang kali melanggar aturan,” ujarnya.
Selain itu, kata Darmawan lagi, selaku ayah kandung, M.Pulih Jaya, ingin melihat surat perjanjian yang pernah dia tandatangani. “Dalam surat tersebut tidak pernah ada poin yang mengatakan, jika anak dikeluarkan, wajib membayar kewajiban utang yang tersisa,” ungkapnya.
Kendati demikian, bukan berarti dia tidak membayar, hanya meminta dicicil. “Tujuan saya adalah agar kewajiban mereka bisa dilaksanakan secara profesional, adil dan bermartabat, bukan sebaliknya,” keluhnya sembari menambahkan akan membawa masalah itu, ke ranah hukum.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Gerakan Pemuda Mahasiswa Aceh Tenggara (Gepmat), Paisal Kadrin Dube, S. Sos kepada Waspada, meminta kepada pihak yayasan yang berlokasi di Jalan Pancing Kota Medan, harus tanggap dan bijak dalam menelaah persoalan mantan santri atas nama, M.Pulih Jaya kelas 82, anak kandung Darmawan yang merupakan warga Agara.
Ketua Gepmat menguraikan E-mis adalah aplikasi untuk basis data siswa madrasah yang terhubung langsung dengan database Kementerian Agama pusat. Data di aplikasi ini menjadi basis dalam pengambilan kebijakan kegiatan di lingkungan Kementerian Agama. Antara lain,bantuan dana BOS, data ujian, pengusulan Program Indonesia Pintar dan lainnya.
Seharusnya tegas ketua Gepmat, pihak pesantren tidak bisa menahan data E-mis tersebut dengan alasan apapun. Pimpinan pesantren harus bijak dalam menghadapi santri, konon lagi santri yang sudah dipindahkan, secara otomatis, hak anak itu wajib diberikan.
“Sehingga tidak melanggar hukum, sembari berdampak merugi pada hak azasi pada anak yang masih ingin menuntut ilmu Agama, melalui proses pendidikan yang sudah diamanahkan oleh negara, berkewajiban bagi kita semua untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada setiap generasi anak bangsa.
Hal itu wajib kita dukung dan memberi support untuk sekolah di luar. Kita seorang pendidik, jangan menghambat sekolah anak. Data E-mis tersebut syarat santri belajar di pesantren lain. Kalau memang pihak pesantren masih menahan, sebaiknya pesantren itu dilaporkan saja pada Aparat Penegak Hukum(APH) di bagian PPA,” tegas Ketua Gepmat yang cukup prihatin dan geram melihat pihak masalah tersebut.
Sementara, Quwahid selaku kepala sekolah pesantren yang berkedudukan di Jalan Pancing Medan itu, saat dikonfirmasi Waspada melalui WhatsApp Sabtu (18/3) belum merespon soal keberatan orangtua santri asal Agara yang anaknya telah dikeluarkan dan E-misnya ditahan, sehingga anaknya sekarang tak bisa pindah ke sekolah lain.(cseh)