Aceh

Tidak Cuma Penentu Kemenangan, Tetapi Menjadi Pemenang

Tidak Cuma Penentu Kemenangan, Tetapi Menjadi Pemenang
Kecil Besar
14px

JIKA selama ini umat Islam hanya bisa menjadi penentu kemenangan, maka pada saatnya harus mampu menjadi pemenang.

Fenomena setiap agenda Pemilihan Umum (Pemilu), dipastikan suara umat Islam menjadi pemilih terbesar di Indonesia. Kekuatan elektoral inipun menjadi rebutan semua partai politik dan menjadi penentu kemenangan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Satu fakta yang nyaris terus berulang, suara umat Islam selalu menentukan kemenangan, tetapi tidak pernah menjadi pemenang. Maka pada satu waktu ke depan, fakta itu harus bisa berubah, ‘harus mampu sebagai pemenang’.

Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Dr. Drs. Ali Amran Tanjung, SH, M.Hum (foto) kepada Waspada.id, Rabu (19/11) menyoal fenomena Pemilu selama ini, sebut jika selama umat Islam hanya bisa menjadi penentu kemenangan bagi pihak lain, maka perubahan tidak akan pernah datang jika tidak disiasati dengan strategi politik dan pilihan.

Ali Amran berharap umat menyadari fenomena itu kemudian memastikan jika ke depan kekuatan menggunakan politik strategis harus lebih mumpuni. Peta kekuasaan Indonesia akan bisa berubah seketika andaikata kesadaran politik umat bukan lagi sekadar jumlah suara.

Sejarah hanya mencatat satu momen ketika umat memiliki kekuatan politik signifikan. Pada Pemilu 1955, Partai Masyumi memenangkan Pemilu dan menjadi kekuatan utama parlemen.

Namun setelah itu, dukungan umat mengalir justru kepada partai-partai nasionalis, partai yang jelas-jelas tidak mendeklarasikan diri membawa aspirasi politik Islam.

Miris, jelang pemilu, simbol-simbol Islam dimanfaatkan, sebut saja ‘dipinjam’ sementara. Tampil atribut religius memenuhi baliho, kegiatan bernuansa dakwah dipaketkan dalam agenda politik. Di sisi lain, tokoh-tokoh yang sehari-hari tidak dikenal dekat dengan isu umat mendadak tampil dengan jargon keislaman.

Namun setelah suara terkumpul, gaya itu menghilang. Nyaris komitmen memperjuangkan kepentingan umat buyar. Dijanjikan perubahan nasib, namun tidak pernah hadir secara nyata. Umat Islam kembali menjadi penonton dari panggung politik yang semula mereka ramaikan.

Ketika aksi besar 2016 di Jakarta, tampak begitu dahsyatnya kekuatan sosial umat. Jutaan orang berkumpul, sepertinya akan menjadi inspirasi dari harapan, bahwa umat akan lebih konsisten menghadapi perhelatan Pemilu ke depan.

Namun fakta pada dua Pemilu setelah itu, gelombang itu nyaris tidak pernah terkonversi menjadi kemenangan politik partai-partai Islam. Kekuatan besar itu tetap tidak menjelma menjadi pengaruh elektoral.

Padahal, aspirasi umat hanya bisa diperjuangkan oleh mereka yang memenangkan Pemilu. Menaruh harapan pada partai yang enggan mengaku membawa aspirasi Islam, bahkan hanya sekedar di atas kertas sekalipun, sama saja menyerahkan masa depan pada pihak yang tidak pernah berniat memperjuangkan aspirasi umat.

Lalu apa yang harus dilakukan umat menghadapi persoalan ini?

Menurut Ali Amran, umat perlu menghindari jebakan kosmetik politik berbasis simbol keagamaan, harus memprioritaskan program konkret, rekam jejak dan keberpihakan nyata terhadap isu-isu umat, bukan retorika menjelang Pemilu.

Kesadaran politik, kata Ali Amran, mustahil tumbuh tanpa pemahaman. Karenanya, umat perlu mendorong lembaga-lembaga pendidikan, majelis ilmu dan organisasi kemasyarakatan memperbanyak diskusi terkait hak-hak politik, sistem pemilu, bahkan posisi tawar umat dalam negara demokrasi.

Tidak cuma itu, dukungan politik harus diarahkan kepada pihak yang memiliki agenda jelas dan terukur menyangkut kepentingan umat, keadilan sosial, ekonomi syariah, perlindungan terhadap nilai-nilai Islam dan tak kalah penting penegakan hukum yang adil. Konsolidasi inipun tidak harus eksklusif, tetapi harus berbasis kepentingan, bukan sekadar kedekatan emosional.

Maka jika umat ingin aspirasinya diperjuangkan, perlu didukung lembaga-lembaga politik, baik partai maupun ormas yang konsisten membawa isu umat, bukan pula berpindah haluan setiap musim Pemilu.

Lalu, setiap dukungan harus dibarengi kontrak politik yang jelas, dapat diukur dan dievaluasi. Umat tidak boleh lagi memberikan dukungan ‘gratis’ kepada partai yang setiap lima tahun hanya meminjam simbol-simbol Islam, seperti selama ini.

Pertanyaan akhirnya harus berubah, bukan lagi ‘Kenapa Umat Selalu Kalah’, tetapi ‘Kapan Umat Islam Mulai Serius Mengelola Kekuatannya Sendiri’.

Pastinya, selama umat hanya menjadi penentu kemenangan bagi pihak lain, perubahan tidak akan pernah datang. Tetapi ketika umat benar-benar menyadari bahwa kekuatan politiknya digunakan secara strategis, maka peta kekuasaan Indonesia bisa berubah seketika.

“Kata kuncinya, kesadaran politik umat bukan sekadar jumlah suara, tetapi strategi menggunakan kekuatan politik,” yakin Ali Amran, yang juga Praktisi Hukum ini. id90/WASPADA.id

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE