“Aceh benar-benar gelap, mencekam, dan terkesan sengaja dibiarkan menderita oleh pemerintah pusat” (Terpiadi A. Madjid)
GUBERNUR Aceh H. Muzakir Manaf atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mualem menyebutkan, bencana alam banjir dan longsor yang melanda Aceh di akhir tahun 2025 adalah tsunami ke dua. Pasalnya, dampak yang ditimbulkan oleh bencana hidrometeorologi ini cukup dahsyat; permukiman hancur, ada gampong (desa) yang hilang. Seluruh wilayah Aceh kondisinya porak-poranda.
Terpiadi A. Madjid, salah seorang tokoh masyarakat Aceh, sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Muzakir Manaf, bahwa bencana alam hidrometeorologi ini merupakan tsunami ke dua di Aceh, meskipun dua bencana alam ini memiliki perbedaan. Perbedaannya dari jumlah korban jiwa.
Pada bencana alam tsunami, kata Terpiadi, telah merenggut korban jiwa yang jumlahnya mencapai 170.000 orang, namun daya rusak infrastrukturnya tidak terlalu parah dan bencana tersebut hanya dialami oleh warga yang tinggal menetap di pesisir pantai, karena gelombang laut yang naik ke daratan dengan radius 2 km.
Kemudian, sebut Cek Ter, sapaan akrabnya, pada bencana alam gempa bumi dan tsunami, masyarakat yang selamat dari bencana alam tersebut tidak sempat kelaparan dalam jangka waktu yang lama, karena keesokan harinya, para relawan dari dalam dan luar negeri berdatangan untuk memberikan bantuan evakuasi. Selanjutnya disusul dengan berbagai bantuan logistik dari berbagai sumber.
Selanjutnya, kata Terpiadi, akses jalan lintas antar kabupaten/kota dan provinsi tidak terganggu pada saat itu, sehingga pengiriman bantuan relawan dan bantuan logistik tidak terganggu sama sekali.
“Pasca terjadi tsunami, Aceh kedatangan bantuan cukup banyak hingga dibentuk Badan Rehab dan Rekon (BRR). Badan ini dibangun untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan seluruh upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Pemulihannya berlangsung dengan cepat karena mendapat perhatian nasional dan internasional,” terang Terpiadi A. Madjid.
Sementara pada bencana alam hidrometeorologi yang sedang dialami Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat saat ini, luput dari perhatian pemerintah pusat. Memang jumlah korban jiwa yang terenggut dari musibah ini tidak sebanding dengan tsunami, dan jumlahnya ratusan orang. Namun, daya rusak dari bencana alam ini cukup dahsyat.
Pascabencana alam banjir ini, jumlah relawan untuk melakukan evakuasi sedikit dan bantuan logistik cukup minim, karena logistik yang mengalir kepada masyarakat terdampak berasal dari Aceh sendiri di masing-masing kabupaten/kota yang terdampak. Kemudian, untuk menyalurkan bantuan logistik cukup sulit disebabkan masyarakat terdampak berada di kawasan yang terisolasi.
“Sudah minim relawan, minim peralatan, hingga minim bantuan logistik. Pembangkit Listrik Negara (PLN) padam berhari-hari, jaringan telekomunikasi mati total. Aceh benar-benar gelap, mencekam, dan terkesan sengaja dibiarkan menderita oleh pemerintah pusat. Masyarakat terdampak mengalami kelaparan berhari-hari. Sampai hari ke 11, masih banyak warga terdampak yang belum makan, seperti di Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Tamiang. Akses jalan menuju ke sana putus total. Bantuan harus melalui jalur udara. Ada yang mengantar bantuan dengan pesawat dan helikopter tapi bantuan tidak berguna karena bantuan yang diberikan tidak bisa dimakan karena bantuan rusak setelah diturunkan dari udara. Ada bantuan yang selamat sampai bandara tapi menumpuk di sana karena proses pengangkutan tidak dapat dilakukan mulai dari akses jalan yang rusak dan jembatan putus hingga tidak tersedianya BBM,” terang Terpiadi A. Madjid.
Bencana alam hidrometeorologi yang melanda Aceh saat ini terjadi di hampir seluruh Provinsi Aceh, mulai dari hulu sampai ke hilir. Pada saat warga Aceh, Sumut, dan Sumbar sedang berjuang menyelamatkan diri dari terkaman maut, muncul statemen dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Dr. Suharyanto, bahwa bencana alam hidrometeorologi yang melanda tiga provinsi ini hanya terlihat ngeri di media sosial.
“Itu komentar tidak pantas diutarakan oleh Kepala BNPB. Dan itu merupakan pelecehan bagi masyarakat Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Kenyataannya pada saat ini, masyarakat di tiga provinsi ini masih terus melawan maut antara hidup dan mati, “ucap Terpiadi dengan nada geram.
Kemarin, lanjut Terpiadi, ada banyak warga dari Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah menempuh perjalanan tiga hari dua malam menuju Kota Lhokseumawe dengan berjalan kaki menyusuri longsor untuk mencari makanan. Mereka berjalan kaki karena jalanan tidak bisa dilintasi dengan kendaraan bermotor. Selain longsor banyak jembatan yang putus.
“Kondisi putus jembatan dan jalan rusak juga terjadi di lintasan jalan nasional Banda Aceh-Medan. Pada saat ini, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sedang berjuang untuk memperbaiki atau membangun jembatan darurat agar kendaraan bermotor dapat melintas. Sampai saat ini, di kawasan yang masih terisolasi listriknya padam dan sinyal HP masih menghilang,” ulasnya.
Tidak ada badan khusus seperti BRR pada saat Aceh dilanda tsunami, untuk melakukan koordinasi dalam penanganan pasca bencana terkait dengan rehabilitasi dan rekontruksi. Tidak ada anggaran yang mengalir dari pihak asing untuk mengatasi masalah ini, karena Indonesia masih bersorak dengan perkasa kalau Indonesia masih sanggup menangani sendiri persoalan rehab dan rekon di Aceh, Sumut dan Sumbar.
Tanpa campur tangan pemerintah pusat dan pihak asing, maka kata Terpadi, masa pemulihan Aceh pasca dilanda bencana alam banjir ini membutuhkan waktu hingga tiga tahun. Aceh tidak akan mampu melakukan perbaikan berbagai kerusakan pasca bencana.
“Kenyataannya hingga saat ini, banyak sekali pengungsi yang kelaparan dan bahkan sudah banyak diantara mereka yang sakit-sakitan karena diserang ISPA pascabencana. Saya heran, apa rugi dan untungnya pemerintah pusat tidak menetapkan bencana alam hidrometeorologi yang dialami masyarakat tiga provinsi ini sebagai bencana nasional,” tanya Terpiadi A. Madjid.
Kepada Waspada.id Terpadi mengatakan, dirinya belum tahu persis mengatakan pemerintah pusat masih enggan menetapkan bencana yang dialami Aceh, Sumut dan Sumbar sebagai bencana nasional. Jika pemerintah pusat, tidak mau menetetapkan bencana ini sebagai bencana nasional karena benci dengan Aceh, maka kebencian itu jangan berimbas kepada masyarakat Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Dan jika memang pemerintah pusat, kata Terpadi, memiliki sentimen dengan Aceh hingga bencana ini tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, maka kenapa Aceh masih dipertahankan. Lebih baik Aceh dibiarkan merdeka.
“Jika masih menganggap Aceh bagian dari NKRI, maka tolong kami Pak Presiden. Atau biarkan kami merdeka lewat jalur referendum,” ucap Terpadi A. Madjid. (Maimun Asnawi, S.HI.,M.Kom.I/WASPADA.id).












