Oleh : Syahrizal Sofyan, M.Ag
Kita hidup di tengah zaman yang penuh dinamika. Arus globalisasi membawa perubahan yang luar biasa cepat dalam pola pikir, budaya, dan sistem kehidupan manusia. Media digital menjadikan informasi mengalir tanpa batas, namun bersamaan dengan itu, kabur pula batas antara kebenaran dan kesesatan, antara nilai dan kepentingan, antara prinsip dan kompromi.
Di tengah situasi inilah, dakwah Islam menghadapi tantangan besar. Sebagian umat terjebak dalam Sikap Liberal (تفريط) yaitu pandangan yang berlebihan dalam kebebasan berpikir hingga melemahkan otoritas wahyu. Pemikiran liberal yang dipengaruhi relativisme (pandangan bahwa kebenaran itu relatif) dapat mengarah pada paham pluralisme agama, yang menyatakan semua agama adalah benar dan tidak ada yang paling benar. Hal ini bertentangan dengan klaim kebenaran mutlak dalam Islam.
Kaum liberal sering mengabaikan batas-batas syariat dengan dalih toleransi dan kemanusiaan. Kebebasan berpikir tidak dibatasi oleh syariat, merupkan hal yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam. sebagaimana Firman Allah Swt berfirman : “Barang siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al Maidah : 44)
Di sisi lain, sebagian umat terjebak dalam Sikap Eksklusif (غلوّ وتشدد) yaitu sikap berlebih-lebihan, melampaui batas, atau ekstrem dalam beragama, yang mencakup ucapan, keyakinan, dan perbuatan. Sikap ekstrem dan fanatik terhadap suatu pandangan dapat menganggap pandangan lain salah dan menimbulkan perpecahan di kalangan umat karena terlalu kaku dan menutup ruang untuk dialog. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Hati-hatilah kalian dari sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan dalam agama.” (HR. Ahmad, An-Nasā’i, dan Ibnu Mājah)
Keduanya sama-sama berbahaya, karena keduanya menjauhkan umat dari makna dan ruh Islam yang sebenarnya yaitu ajaran yang seimbang, adil, dan penuh rahmat.
Maka di sinilah letak urgensi dakwah wasathiyah, dakwah yang moderat, yang memadukan keteguhan prinsip akidah dengan keluasan pandangan dalam kehidupan sosial. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 143, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat yang wasath (pertengahan), agar kamu menjadi saksi atas manusia.”
Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat keseimbangan. Umat yang memadukan keteguhan iman dengan keluasan ilmu, kekuatan spiritual dengan kecerdasan intelektual, serta semangat dakwah dengan kearifan sosial.
Makna Dakwah Wasathiyah
Kata wasathiyah berasal dari kata wasath, yang berarti “tengah”, “adil”, atau “seimbang.” Dalam pandangan para ulama, wasathiyah bukan berarti kompromi terhadap kebenaran, melainkan jalan lurus yang berada di antara dua ekstrem.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Kebaikan itu selalu berada di tengah antara dua keburukan.” Maka dakwah wasathiyah bukan dakwah yang lembek, bukan pula dakwah yang keras, tetapi dakwah yang berhikmah, bernash, dan berkeadilan.
Rasulullah Saw adalah teladan tertinggi dalam dakwah wasathiyah. Beliau tegas terhadap kemusyrikan, tetapi lembut terhadap manusia. Beliau tidak pernah menukar kebenaran dengan popularitas, namun selalu menyampaikan risalah dengan kasih sayang. Sebagaimana firman Allah Swt, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Naḥl: 125)
Prinsip Dakwah Wasathiyah dan Keteguhan Prinsip Akidah
Ustadz E. Abdurrahman menjelaskan tentang prinsip wasathiyah dalam dakwah dalam majalah “Al-Lisan, No. 4 Tahun 1931 yang mencakup :
a. Al-Hikmah (Kebijaksanaan)
Dakwah dilakukan dengan memahami kondisi mad’u (objek dakwah), memilih cara yang tepat, dan tidak tergesa-gesa dalam menilai. Hikmah berarti kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya, tegas dalam prinsip, namun lembut dalam pendekatan. Sebagaimana firman Allah Swt, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl : 125)
b. At-Tawazun (Keseimbangan)
Wasathiyah menuntut keseimbangan antara agama dan dunia, akal dan wahyu, tegas dan toleran, individual dan sosial. Dakwah tidak hanya menekankan aspek ritual, tapi juga moral, sosial, dan keadilan. Sebagaimana firman Allah Swt, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia.” (QS. Al-Qashash : 77)
c. At-Tasamuh (Toleransi)
Toleransi bukan berarti mencampuradukkan kebenaran, tetapi menghargai perbedaan dengan tetap berpegang pada prinsip. Wasathiyah menolak sikap kasar dan fanatik sempit dalam berdakwah, sebab dakwah yang memaksa tidak akan menumbuhkan keimanan sejati. Sebagaimana firman Allah Swt, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun : 6)
d. Al-‘Adl (Keadilan)
Prinsip wasathiyah menuntut keadilan dalam menilai, bersikap, dan berinteraksi. Dakwah yang adil tidak berat sebelah dan tidak mengikuti hawa nafsu kelompok. Sebagaimana firman Allah Swt, “Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan.” (QS. An-Nahl : 90)
e. Asy-Syura (Musyawarah)
Wasathiyah mengedepankan dialog, bukan pemaksaan. Dakwah melalui musyawarah mencerminkan penghargaan terhadap akal dan martabat manusia. Sebagaimana firman Allah Swt, “Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura : 38)
Aplikasi dakwah wasathiyah sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw di Makkah berdakwah dengan kesabaran dan keteguhan, tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Begitupun di Madinah, Rasulullah Saw dengan membangun masyarakat dengan prinsip keadilan dan toleransi antaragama (Piagam Madinah)
Setelah masa Rasulullah Saw, para khalifah seperti Abu Bakar Assidiq ra, Umar bin Khattab ra, dan Ali bin Abi Thalib ra melanjutkan berdakwah dengan mencontohkan keseimbangan antara ketegasan akidah dan kebijaksanaan sosial.
Wasathiyah tidak akan bermakna bila kehilangan pijakan akidah. Keseimbangan bukan berarti kebingungan antara haq dan batil. Maka dakwah wasathiyah harus berakar pada keteguhan prinsip tauhid, sebagaimana ditegaskan oleh salah satu organisai Islam PERSIS (Persatuan Islam) msejak awal berdirinya.
Sejarah mencatat, sejak berdirinya tahun 1923, Persatuan Islam tampil sebagai gerakan pembaharu yang berpegang teguh pada kemurnian akidah dan sunnah Rasulullah Saw. Gerakan ini tidak lahir untuk mengejar kedudukan, tetapi untuk mengembalikan umat kepada kemuliaan Islam yang sejati yaitu Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan dari tradisi yang tidak berdasar.
Keteguhan prinsip ini pula yang membuat dakwah PERSIS memiliki identitas yang kuat, tidak mudah terbawa arus modernisme yang bebas nilai, dan tidak pula larut dalam fanatisme buta.
Peran Dakwah Washatiyah dalam Membangun Umat yang Cerdas dan Beradab
Dakwah yang menekankan bahwa kebangkitan umat tidak akan terwujud tanpa kecerdasan berpikir dan kekuatan ilmu. Kecerdasan yang dimaksud bukan hanya kemampuan kognitif, akan tetapi meliputi kecerdasan spiritual, moral, dan sosial.
Umat yang cerdas bukan sekadar umat yang pandai berdebat, melainkan umat yang mampu menimbang setiap perkara dengan ilmu, adab, dan kebijaksanaan.
Dalam konteks inilah, dakwah wasathiyah menjadi ruh dari pendidikan, mendidik generasi muda agar memiliki kritis dalam berpikir, santun dalam berdakwah, dan teguh dalam prinsip.
Karena itu, di tengah munculnya kelompok yang mudah mengkafirkan sesama, dan kelompok lain yang merelatifkan semua kebenaran, dakwah washatiyah harus tampil sebagai teladan umat yang cerdas dan seimbang.
Kecerdasan tanpa adab hanyalah kesombongan intelektual. Karena itu, Islam menempatkan adab di atas ilmu. Imam Malik Rahimahullah pernah berkata kepada muridnya, “Pelajarilah adab sebelum engkau belajar ilmu.”
Adab adalah kemuliaan akhlak yang menjadi buah dari keimanan yang benar dan ilmu yang bermanfaat. Tanpa adab, ilmu menjadi alat untuk menghancurkan. Tanpa akhlak, dakwah berubah menjadi debat. Maka, umat yang beradab adalah umat yang menegakkan ilmu dengan akhlak dan melaksanakan akhlak dengan ilmu.
Dalam konteks modern ini, adab berarti menghargai perbedaan, menghindari ujaran kebencian, dan menegakkan keadilan.
Namun, sekali lagi bahwa menghargai bukan berarti mengorbankan prinsip, melainkan menyampaikan kebenaran dengan cara yang santun dan bijak.
Inilah peran Dakwah Washatiyah yang strategis, menjadi penjaga adab dalam dakwah. Menjadi wadah yang menunjukkan bahwa Islam bukan hanya benar secara konsep, tetapi juga indah dalam perilaku, bahwa ketegasan bisa berjalan seiring dengan kelembutan, dan ilmu bisa berpadu dengan akhlak.
Penutup
Dakwah wasathiyah dan keteguhan prinsip bukan dua hal yang bertentangan, melainkan dua sisi dari satu mata uang dakwah Islam. Keteguhan prinsip tanpa wasathiyah melahirkan kekakuan, sedangkan wasathiyah tanpa prinsip melahirkan kelemahan.
Keduanya harus berjalan beriringan agar umat ini dapat berdiri tegak, cerdas dalam berpikir, santun dalam bertindak, dan tegas dalam beriman. Maka mari kita jadikan semangat wasathiyah dan prinsip tauhid ini sebagai ruh perjuangan dakwah di abad ini. Meneguhkan dakwah yang berpijak pada ilmu, berakhlak dengan adab, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.
Semoga Allah Swt meneguhkan langkah kita dalam perjuangan dakwah dan bisa menjadi cahaya bagi umat, benteng bagi akidah, dan pelopor dalam membangun peradaban Islam yang cerdas, beradab, dan rahmatan lil ‘ālamīn. WASPADA.id
Penulis adalah Anggota MPU Aceh Besar













