ACEH BESAR (Waspada.id): Kekerasan terhadap anak dan perkembangan teknologi informasi sejatinya tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi. Tanpa kontrol dan kesadaran bermoral yang kuat, teknologi bisa memperburuk rentannya perlindungan anak. Sebaliknya, teknologi yang dikelola sesuai nilai Islam dan kesadaran kritis menjadi sarana yang memperkokoh akal, jiwa dan moral generasi muda, serta menjamin perlindungan anak secara efektif.
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Ustazd H. Rahmadon Tosari Fauzi, M.Ed, Ph.D, (foto) menyampaikan hal itu dalam khutbah Jumat di Masjid Baitul Maghfirah Dusun Beurami, Gampong Paya Tieng, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, Jumat,(07/11/25), bertepatan dengan 16 Jumadil Awal 1447 Hijriah.
Karena itu, ia menganggap penting bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat berperan aktif membimbing dan membangun generasi yang mampu menguasai teknologi sekaligus menjaga kemanusiaannya. Dengan demikian, anak-anak kita dapat tumbuh di lingkungan yang aman, sehat, dan penuh kasih sayang, serta siap menghadapi tantangan zaman dengan bijak dan berakhlak mulia.
Ustazd H. Rahmadon menegaskan, kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia terus meningkat secara signifikan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 241 pengaduan kasus kekerasan fisik dan psikis hanya dalam sepuluh bulan tahun 2025, yang sudah melampaui angka tahun sebelumnya.
“Tempat yang seharusnya paling aman, seperti rumah dan sekolah, justru menjadi lokasi kekerasan yang mengancam tumbuh kembang anak. Pelaku kekerasan kerap berasal dari lingkup keluarga, seperti orang tua kandung, tiri, maupun lingkungan pendidikan,” ungkapnya.
Ia menguraikan, perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan buatan memperkenalkan dimensi baru dalam perlindungan anak. Teknologi memudahkan akses belajar, komunikasi, dan informasi, namun juga membawa risiko besar jika pengguna, khususnya anak dan remaja, tidak dibekali kesadaran kritis.
“Konten negatif, hoaks, dan pola konsumsi digital yang pasif berpotensi merusak akal sehat, moral, dan psikologis generasi muda. Fenomena ini menuntut sinergi antara perlindungan anak dan literasi digital sebagai fondasi masa depan yang lebih aman dan sehat,” ungkapnya.
Selanjutnya, aktivis DDII Aceh ini menjelaskan, dalam perspektif Islam, Maqasid al-Shari’ah — lima tujuan syariat yakni menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan — harus menjadi pemandu dalam memanfaatkan teknologi agar tidak menimbulkan kerusakan. Al-Qur’an mengingatkan kita dalam Surat At-Tahrim ayat 6: “Dan jagalah dirimu serta keluargamu dari api neraka.”
“Ayat ini menandaskan pentingnya perlindungan keluarga sebagai benteng utama dari segala bentuk kerusakan, termasuk kekerasan dan pengaruh negatif teknologi,” ujarnya.
Imam Al-Ghazali mengajarkan pentingnya kesadaran dan niat dalam menggunakan ilmu dan teknologi. Ia membagi manusia dalam dunia digital menjadi empat kelompok: yang sadar dan berilmu; sadar tapi belum teraktualisasi; tidak sadar tapi siap belajar; dan yang tidak sadar sekaligus merusak.
Dalam konteks ini, manusia harus menjadi pengendali akal dan teknologi, bukan budaknya. Ilmu tanpa niat dan kesadaran moral malah bisa membawa kehancuran, selaras dengan prinsip menjaga maqasid syariah.
Untuk mengatasi tantangan ini, tambah Ustazd H. Rahmadon, beberapa contoh praktis langkah-langkah berikut dapat diterapkan, pertama, orang tua dan guru dapat mengajarkan anak kemampuan kritis menyeleksi informasi, menggunakan gadget dengan bijak, dan mengenali konten negatif atau berbahaya. Misalnya, mengadakan workshop literasi digital dan menetapkan aturan penggunaan gadget dalam rumah dan sekolah.
Kedua, menggunakan aplikasi parental control untuk membatasi konten yang tidak layak dan waktu penggunaan gadget, sekaligus mendorong anak beraktivitas offline seperti membaca buku, berolahraga, dan interaksi sosial langsung.
Ketiga, mengajak keluarga menetapkan “waktu tanpa gadget” secara rutin, misalnya saat makan bersama atau sebelum tidur, guna menjaga keseimbangan jiwa dan kesadaran kritis anak.
Keempat, sebelum membagikan, membuat, atau memanfaatkan konten digital, anak dan remaja diajak bertanya: apakah ini melindungi iman, akal, jiwa, dan masa depan saya. Jika tidak, hindari atau tolak konten tersebut.
“Dengan langkah-langkah ini, teknologi dapat berfungsi sebagai alat pemberdayaan anak dan pembentukan karakter, sekaligus menjadi benteng pelindung dari kekerasan dan dampak negatif digital,” pungkasnya. (Id66)












