AcehEkonomi

Warga Pidie Meradang, Gas Mahal, Listrik Mati, Janji Pejabat Pusat Omong Kosong

Warga Pidie Meradang, Gas Mahal, Listrik Mati, Janji Pejabat Pusat Omong Kosong
Seorang ibu di Pidie,Provinsi Aceh memasak menggunakan kayu bakar karena gas elpiji 12 kilogram langka dan harganya melambung. Krisis ini menambah penderitaan warga di tengah banjir bandang, Minggu (7/12). Waspada.id/Muhammad Riza
Kecil Besar
14px

SIGLI (Waspada.id): Banjir bandang di Kabupaten Pidie dan wilayah Aceh lainnya membuka tabir ketidakmampuan pemerintah menghadapi krisis. Aliran listrik bergilir, jaringan komunikasi amburadul, dan janji pejabat pusat yang tidak terealisasi membuat warga geram. Tidak ada lagi ruang untuk basa-basi atau pidato kosong.

Selanjutnya harga Gas Elpiji dijual suka-suka, baik tingkat pangkalan lebih-lebih tingkat pengecer. Tingkat Pangkalan seperti di Pidie, Gas Elpiji 12 kg dijual Rp350.000, di tingkat pengecer dijual Rp430.000. Jika pemerintah bersikap tegas, pangkalan dan distributor itu harus diproses hukum dan izin usahanya dicabut biar ada efek jera.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

“Kami bosan dengan imbauan saja. Pemerintah hanya bisa keluarkan imbauan tetapi para cukong itu bebas melakukan permainan harga, terlebih dalam situasi bencana alam di mana masyarakat Aceh, khususnya Pidie sedang dalam menghadapi musibah,” kata salah seorang warga.

Kedatangan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di tengah musibah beberapa waktu lalu justru memantik amarah warga. “Janji PLN listrik normal Jumat (6/12) dan Sabtu (5/12), hingga kini cuma angan-angan. Yang normal hanya tagihan tetap jalan, jaringan komunikasi kacau. Pelayanan buruk, apalagi saat bencana,” tegas Usman, warga Kota Sigli.

Aliran listrik yang tidak stabil menghambat segala aktivitas. Anak-anak tidak bisa belajar, pedagang kecil terhenti, rumah tangga kesulitan menjalankan kegiatan sehari-hari. “Kami dipermainkan pemerintah yang hanya bicara tanpa melihat kenyataan. Semua serba janji, semua serba omong kosong,” tambah Aminah, warga Pidie.

Jaringan komunikasi yang belum normal membuat warga semakin terisolasi. Informasi penting soal lokasi bantuan, posko pengungsian, dan kondisi jalan nyaris tidak tersampaikan. “Kalau komunikasi tidak normal, kami seperti ditinggalkan pemerintah. Informasi hanya sebatas janji pejabat yang kosong,” kata Usman.

Warga tidak bisanmenahan amarah. “Seharusnya pejabat berbicara fakta, bukan Asal Bapak Senang (ABS). Kalau tidak mampu, angkat tangan saja. Jangan nafsu kuda, tenaga ayam. Rakyat butuh tindakan nyata, bukan janji manis basi,” tegasnya.

BPBD Kabupaten Pidie memang menurunkan tim untuk memantau listrik dan komunikasi, tapi kerusakan infrastruktur akibat banjir membuat perbaikan lambat. Warga menuntut pemerintah pusat dan PLN bertindak cepat: normalisasi listrik, perbaikan jaringan komunikasi, dan distribusi bantuan yang nyata.

“Tidak cukup dengan kata-kata manis. Jangan main pidato, jangan main foto-foto saat rakyat kesusahan. Ini waktunya tindakan nyata, bukan politik panggung atau sandiwara pejabat. Bencana bukan ajang pamer,” pungkas warga, mewakili suara ribuan keluarga yang terdampak.

Bagi masyarakat Pidie, janji tanpa kenyataan sudah cukup menyakitkan. Saatnya pejabat berhenti omong kosong, dan mulai bekerja sungguh-sungguh. Karena rakyat bukan penonton sandiwara, terapi korban nyata bencana yang menuntut aksi nyata. (Id69)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE