Oleh Hotlan Siregar
“Allah memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapa yang pantas mendapat petunjuk” (QS. Al-Qasas: 56)
Hidayah adalah anugerah terbesar yang tidak bisa dibeli, direkayasa, atau dipaksakan datang. Ia adalah cahaya dari Allah yang menembus relung hati manusia menyentuh, menghidupkan, dan mengubah. Namun tak semua hati segera menerima hidayah itu. Ada yang disapa berulang kali, tapi menolak. Ada pula yang baru tersentuh setelah sekian lama terombang-ambing dalam kelamnya kehidupan dunia. Itulah yang disebut hidayah tertunda saat seseorang sebenarnya sudah berada di ambang cahaya, tetapi ia memilih membelakangi arah datangnya sinar itu.
Kita sering menyaksikan orang yang hatinya masih keras meskipun telah mendengar nasihat, ayat, bahkan melihat langsung tanda-tanda kebesaran Allah. Bukannya tunduk, justru semakin menantang. Bukannya tersadar, malah semakin jauh. Namun anehnya, ada kalanya orang seperti itu tiba-tiba berubah. Ia menjadi lembut, mudah menangis karena Allah, dan bertaubat dengan sungguh-sungguh. Mengapa bisa begitu? Karena ternyata, hidayah bisa datang dalam waktu yang tidak terduga. Allah Maha mengetahui kapan waktu terbaik bagi seorang hamba untuk tersentuh dan berubah. Tugas kita bukan memaksa seseorang segera mendapat hidayah, tetapi terus mendoakan dan menjadi sebab yang mendekatkannya kepada Allah.
Namun, tidak semua hidayah yang tertunda akhirnya benar-benar datang. Ada yang selamanya tertunda, bahkan tertutup. Dan itu bukan karena Allah pelit memberi petunjuk, melainkan karena hati manusia sendirilah yang menolaknya. Ia memilih dunia daripada Akhirat, mengikuti nafsu daripada nurani, membela kesesatan dengan dalih kebebasan. Maka tertutuplah pintu hati itu, sebagaimana Fir’aun yang menyaksikan mukjizat tapi tetap ingkar, atau Abu Jahal yang mengetahui kebenaran tapi lebih memilih status dan harga diri di tengah kaumnya.
Menunda hidayah adalah permainan yang sangat berisiko. Waktu terus berjalan, dan tak ada jaminan umur akan cukup panjang untuk menerima cahaya itu esok hari. Betapa banyak orang yang berkata, “Nanti kalau sudah tua saya akan hijrah,” namun maut lebih dulu menjemputnya. Betapa banyak yang menunggu Ramadhan untuk berubah, tapi tak pernah sampai kepadanya. Maka siapa yang menjamin bahwa hidayah yang kita tolak hari ini akan tersedia lagi besok? Adakah surat dari langit yang memastikan bahwa kita akan bangun esok hari dalam keadaan masih hidup?
Hidayah bukan hanya perkara mengubah cara berpakaian atau kebiasaan ibadah. Ia adalah perubahan arah hidup dari mengikuti hawa nafsu menjadi tunduk kepada Allah. Ia bisa berawal dari satu ayat yang menggetarkan hati, satu musibah yang menyadarkan, atau satu pertemuan yang membuka mata. Karenanya, setiap momen dalam hidup ini adalah peluang untuk mendapatkan hidayah. Jangan abaikan suara hati yang mulai gelisah, atau air mata yang tiba-tiba jatuh ketika mendengar ayat suci. Bisa jadi itulah panggilan dari Allah yang tidak akan datang untuk kedua kali.
Kita semua pernah dalam gelap, dan sedang berproses menuju cahaya. Maka jangan pernah merasa aman dari kelalaian, dan jangan pernah putus asa dari rahmat Allah. Jika hari ini engkau merasa terlambat berhijrah, ingatlah bahwa Allah Maha Menerima taubat, bahkan meski dosamu sebesar gunung. Tapi segeralah kembali. Jangan tunggu hidayah, karena ia sering datang bukan kepada yang menunggu, tapi kepada yang mencarinya dengan sungguh-sungguh. Jangan biarkan hidayah itu terus tertunda karena tak ada yang bisa menjamin bahwa waktu kita akan cukup panjang untuk menantinya.
(Guru Pesantren Darul Mursyid-Tapsel)