Oleh: Ustadz Drs Tgk H Ameer Hamzah, MSi
Allah Swt berfirman, “Sungguh pada dirimu wahai Muhammad terdapat akhlak yang agung.” Tentu Rasulullah memiliki akhlak yang lebih baik ketimbang manusia yang lain. Akhlak Nabi ini memiliki banyak contoh di dalam sirah Nabi. Kalau kita membaca buku-buku sirah Nabi, selalu terdapat peristiwa-peristiwa yang berdasarkan Al-Qur’an dan juga berdasarkan hadis sahih, yang menunjukkan keagungan pribadi dan keagungan akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apabila kita bisa meneladani atau menanamkan pribadi Rasulullah dalam diri kita, berarti kita juga berakhlak mulia. Tetapi jika sebaliknya, kita emosional, mudah marah, atau menyimpan dendam, tentu kita jauh dari pribadi Rasulullah.
Kebaikan Hati Terhadap Pembenci
Contoh pertama saya kutip dari sebuah hadis, ini terdapat dalam kitab Anisul Muslim (Kitab Hiburan Orang Mukmin) yang dikarang oleh seorang ulama besar yang bernama Muhammad Said bin Abdul Majid, beliau orang Makkah.
Dalam kitab Anisul Muslim diceritakan ketika suatu hari Rasulullah berada di Makkah. Ada seorang perempuan tua yang sangat membenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia menganggap Rasulullah itu nabi palsu.
Perempuan ini sudah lama ingin menyeberang jalan, tetapi tidak putus-putusnya kendaraan seperti kuda, unta, dan keledai lewat. Rasulullah memperhatikan perempuan tua itu, lalu dengan akhlaknya yang agung, beliau mendekati perempuan itu.
“Ibu, mau nyeberang? Biar saya tolong.” Lalu Rasulullah dengan baik hati memegang tangannya, menghentikan kendaraan-kendaraan, dan menuntun perempuan itu ke seberang jalan.
“Terima kasih,” kata perempuan tua itu. “Tapi anak muda, saya ingatkan engkau bahwa di kota Makkah ini ada seorang yang mendakwahkan dirinya nabi, namanya Muhammad. Jangan engkau percaya, Muhammad itu pendusta. Muhammad itu nabi palsu. Tetaplah dengan agamamu, agama Latta dan Uzza.”
“Oh ya, anak muda, saya ingin berterima kasih kepadamu. Siapa namamu nak, anak muda?”. Rasulullah dengan senyum mengatakan, “Sayalah Muhammad. Saya bukan nabi palsu, saya Rasulullah.”
Dalam kisah itu, perempuan tersebut akhirnya mendapatkan hidayah. Dia merasa sangat malu. “Engkaukah Muhammad? Ternyata engkau sangat baik. Akhlakmu mau membantu saya orang tua.”
“Kalau begitu,” katanya, “Engkau bukan nabi palsu. Engkau nabi sesungguhnya, aku masuk Islam. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.”
Ini adalah akhlak Nabi. Kalau kita mungkin akan marah kepada orang tua itu, “Sudah saya bantu, kau bilang aku nabi palsu.” Tapi Rasulullah memaafkan perempuan itu.
Kesabaran Dalam Menghadapi Tagihan
Satu lagi kisah yang sangat menarik terdapat dalam kitab Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Al-Ghazali (Dekan Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo).
Dikisahkan tentang Rasulullah ditagih hutang oleh seorang Yahudi, padahal belum sampai waktu jatuh temponya. Masih ada beberapa hari lagi. Tiba-tiba Yahudi itu datang, memegang kerah baju Rasulullah, dan menghina beliau di depan umum.
“Muhammad, engkau bangsa yang mengulur-ulurkan bayar hutang!” dia menghina. “Kenapa kamu tidak bayar hutang sama aku? Padahal waktunya sudah sudah lewat.”
Rasulullah menjawab, “Wahai Yahudi, belum jatuh temponya. Saya segera akan membayar. Kenapa engkau membuat saya malu di depan orang? Kamu maki-maki bangsa saya Bani Hasyim, orang yang tidak mau bayar hutang.”
Lalu Umar bin Khattab menghunus pedangnya, “Ya Rasulullah, izinkan ku tebas batang lehernya.” Rasulullah bersabda, “Jangan Umar, jangan. Masukkan pedangmu dalam sarung. Nasihatkan kepada Yahudi ini supaya menagih hutang secara baik-baik, dan nasihatkan saya supaya saya tidak lupa membayar hutang.”
Ini adalah ucapan Rasulullah. Kemudian Utsman bin Affan, menantu Rasulullah, memanggil Yahudi itu dan segera membayar hutang Rasulullah.
Kalau kita dipermalukan begitu, mungkin kita akan marah. Tapi Rasulullah senyum-senyum saja. Ini juga akhlak agung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pemaafan Kepada Musuh
Cerita yang ketiga terdapat dalam Hadis Sahih Bukhari Muslim, yaitu bagaimana Rasulullah memaafkan Dsur. Dsur adalah orang kafir yang dalam sebuah perang ingin membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam Perang Bani Mustali, Rasulullah merasa capek lalu istirahat di bawah sebuah pohon. Pedang Rasulullah digantung di pohon itu.
Dsur berhasil mengambil pedang Rasulullah. Dalam pikirannya, “Ini kesempatan, saya bunuh Muhammad ini. Muhammad tidak bisa lagi melepaskan diri. Saya akan bunuh dia sekarang.”
Dia pun berteriak, “Muhammad!” Terkejut Rasulullah. “Sekarang siapa yang bisa melepaskan engkau dari pedangku ini?” kata Dsur.
Rasulullah itu bukan manusia biasa, beliau kekasih Allah. Rasulullah hanya mengucap satu kata: “Allah.” “Allah yang bisa melepaskan aku daripadamu wahai Dsur.”
Setelah ucapan Rasulullah, Dsur bergetar seperti orang kena stroke. Lututnya lemah, tertunduk ke tanah, dan pedang Rasulullah yang dipegangnya terlepas dari tangannya. Sekarang giliran Rasulullah mengambil pedangnya itu lalu bertanya, “Wahai Dsur, siapa yang bisa melepaskan engkau dari pedangku ini?”
Dsur terdiam. Lalu dia menjawab, “Engkau wahai Muhammad, engkau wahai Rasulullah.” “Kalau begitu pergi engkau,” kata Rasulullah. “Pulang ke rombonganmu.” Rasulullah melepaskannya.
Tapi kemudian Dsur kembali. “Saya masuk Islam, saya mengucap dua kalimah syahadah,” katanya, “Karena akhlak Nabi yang agung itu.” Apa maknanya di sini? Pemaaf. Rasulullah ini sangat pemaaf.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf.” Jadi akhlaknya yang mulia itu tidak dendam. Tentu jika kita punya kesempatan, kita mungkin akan membunuh musuh saat seperti itu, tapi Rasulullah memaafkannya.
Sikap Bijak Dalam Pendidikan
Kisah satu lagi yang juga sangat menarik, sebut Tgk Ameer Hamzah, terdapat dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim, tentang seorang Badui (Arab dusun/nomaden). Orang Badui ini dari kampung turun ke kota Madinah. Si Badui ini kencing di dalam masjid. Sebenarnya Rasulullah boleh mengusirnya. Sahabat-sahabat juga ingin mengusirnya.
Tapi kata Rasulullah, “Jangan, jangan usir. Biar habis dulu.” “Karena kalau sedang keluar pipisnya diusir, pasti kotor masjid di mana-mana nanti kencing orang itu.” Tapi Rasulullah mengatakan, “Biar habis dulu hajatnya.”
Setelah habis, Rasulullah memerintahkan sahabatnya mengambil air untuk menyiramnya. Sudah cukup, selesai. Kenapa? Karena di zaman Rasulullah tidak ada keramik, hanya tanah keras, lantai Masjid Nabawi dari tanah yang sudah dipadatkan.
Jadi kalau orang kencing, airnya masuk terus ke dalam tanah. Maka Rasulullah melarang memukulnya sebelum habis. Setelah habis pun, Rasulullah tidak memukulnya, cuma memanggil,”Wahai Fulan, ini tempat suci, ini tempat salat. Jangan kamu kencing di sini. Kalau kamu kencing, di luar, di tempatnya.”
Itu akhlak Rasulullah. Wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim. Sungguh pada dirimu Muhammad terdapat akhlak yang sangat agung.
Peringatan Maulid Dan Aktualisasi Akhlak
Banyak sekali dalam hadis-hadis Nabi tentang akhlak Rasulullah, seperti kisah dengan Suraqah bin Malik waktu Rasulullah hijrah ke Madinah, yang ingin membunuh Nabi demi hadiah 100 ekor unta. Rasulullah memaafkannya, malah menjanjikannya mahkota Raja Persia.
Kekurangan umat Islam zaman sekarang adalah akhlak kita yang terkadang hancur-hancuran. Untuk apa kita peringati Maulid setiap tahun? Padahal tujuan peringatan Maulid adalah supaya kita kembali kepada akhlak yang mulia, akhlak Rasulullah. Kita teladani uswatun hasanah kita.
Kita teladani Rasulullah dalam berakhlak. Yang diperintahkan oleh Allah kita kerjakan, yang dilarang oleh Allah kita tinggalkan. Itu baru bermakna kita peringati Maulid.
Betapa banyak orang yang Nabi sendiri, hidupnya sendiri. Betapa banyak orang yang berbuat maksiat diam-diam. Mudah-mudahan kita jauhkan diri kita dari maksiat-maksiat itu. Yang pertama, jangan lalaikan salat lima waktu.
Jaga dirimu dan keluarga. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.” Neraka itu terdiri dari batu bakar dan manusia.
Beriman sungguh-sungguh supaya kita menjadi pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kita dibangkitkan hari akhirat, dimasukkan dalam surga bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. [Tulisan disampaikan pada Halaqah Subuh di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis (16/10/25)]. WASPADA.id/id66
Penulis adalah Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Banda Aceh dan Penulis Al-Bayan di Harian Waspada.