Oleh Dr Nada Sukri Pane
“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang” (QS. Az-Zumar: 53)
Sudahlah, sudah cukup lama Tuan menikamti harta haram tersebut, kembalikan-lah barang dan uang yang telah dikorupsi. Segeralah bertaubat sebelum kain putih dipakaikan, sebelum badan di shalatkan. Jika taubat dilakukan dengan tulus dan sungguh-sungguh, segenap hati sepenuh jiwa, Allah SWT yang Mahapengampun akan menerima taubat tersebut. Karena Allah Mahapengasih, Mahapenyayang.
Namun yang terbaik dari kita adalah yang bertaubat atas kesalahan dan dosa yang telah kita perbuat. Karena rahmat dan ampunan Allah amatlah luas. Tapi taubat ini bukan seremonial, ritual dan harus viral di media sosial. Taubat adalah bentuk kesadaran penuh dan pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan. Ini adalah janji pada diri sendiri yang dibuat di hadapan Allah untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. “Setiap anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang bertaubat dari kesalahannya” (HR Tirmidzi).
Agar taubat berhasil, ada lima tahapan yang harus dilalui; Pertama, penyesalan mendalam. Yakni menyesali perbuatan korupsi dengan sepenuh hati. Penyesalan ini harus datang dari lubuk hati terdalam, disertai dengan rasa malu dan duka atas kesalahan yang telah diperbuat dan segera memperbaiki diri. “…kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya)” (QS. An-Nahl: 119).
Kedua, berhenti. Taubat tidak akan bermakna jika pelaku terus melanjutkan tindakan korupsi. Mereka harus menghentikan semua aksi korupsi yang sedang dilakukan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya di masa depan. Jangan lagi pungli, gratifikasi, korupsi sekecil apapun lagi. “Dan terimalah taubat kami. Sungguh, Engkaulah Mahapenerima taubat, Mahapenyayang” (QS. Al-Baqarah: 128).
Ketiga, mengembalikan harta korupsi. Ini adalah langkah penting dan seringkali paling berat, paling sulit. Karena masih banyak yang takut kehilangan harta benda dan kemewahan yang telah dinikmati. Namun taubat harus menegmbalikan harta yang di korupsi. Karena tak ada taubat tanpa mengembalikan. “Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku” (QS. Al-Qashash: 16).
Tentang harta haram ini, Imam Al Ghazali dalam Rahasia Halal-Haram (Al Halal wa Al Haram) mengungkapkan, ada dua kondisi harta seseorang yang bercampur dengan harta haram. Semisal jika setengah dari hartanya haram maka dia harus mengukur dengan jujur memisahkan setengah hartanya, dan memiliki sisa yang sah. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi… “ (QS. Al-Baqarah: 168).
Keempat, memohon ampunan kepada Allah. Yakni sembah sujud (kalau bisa meneteskan air mata). Seraya memanjatkan doa dan zikir, dengan hati yang tulus dan penuh penyesalan. Pelaku harus benar-benar bersungguh-sungguh dalam taubatnya, memohon ampunan dan rahmat dari Allah. Berserah diri, hampa mati, hanya kepada Allah. Tiada daya upaya, tiada kuasa, semua harta benda, nyawa pemberian Allah.
Kelima, komitmen. Mulai besok, walau korupsi mundar mandir di depan Anda, tetap katakan tidak untuk korupsi. Walau korupsi sudah dianggap biasa, namun tetap “komitmen” menolak korupsi. Jangan benarkan yang biasa, tapi biasakanlah yang benar. Kemudian jangan mengukur korupsi dari besarnya, tapi ukurlah dari bentuk kejahatannya. Karena sekecil apapun itu, “korupsi tetap korupsi!”
(Guru SMAN 16 Medan, Alumni Doktor PEDI UIN SU)