Foto: & Narasi: Muhammad Faisal/Hasriwal AS
MEMASUKI pekan ketiga bencana Sumatra, ribuan korban bencana banjir bandang, longsor ditambah hantaman kayu gelondongan melanda berbagai wilayah di Provinsi Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat, karena alam murka membuat waktu terasa berhent tetapi penderitaan terus berjalan.

Ribuan korban terdampak langsung bagai hidup terbingkai dalam tenda pengungsian, antrean bantuan, dan perjuangan melawan trauma yang tak kunjung usai.

Hingga kini, korban meninggal dunia hampir tembus 1.000 orang, ratusan masih hilang entah hanyut kemana terbawa arus dan terpendam dalam lumpur setinggi bubung atap rumah.

Memasuki pekan kedua, Wartawan’ Foto Waspada, Muhammad Faisal, terjun langsung bersama rombongan Konsulat Jeneral Malaysia di Medan, membawa misi kemanusiaan dan solidaritas mengharukan saat melaksanakan Program Peduli Bencana Banjir (P2B2) bersama tim gabungan yang terdiri dari Mercy Malaysia, Diaspora Malaysia di Medan, dan Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI), beri bantuan untuk korban bencana banjir di Aceh Tamiang, dan Tanjung Pura, Sumatera Utara, Rabu (10/12).

Tampak bangunan rata, lumpur mengering, dan puing-puing saksi bisu, kemarahan alam yang tak terbendung oleh manusia.
Korban jiwa bergelimpangan, ada yang kehilangan ayah, ibu, dan anak. Bahkan tak sedikit di antara mereka kehilangan sanak saudara yang sampai hari ini belum kunjung ditemukan jasadnya.

Bahkan beberapa kampung hilang, lenyap entah kemana tak berbekas.
Anak-anak kehilangan sekolah, bahkan kehilangan kawan bermain.
Kini, penderitaan yang dialami ribuan korban yang selamat dari terjangan banjir membawa lumpur dan kayu gelondongan, hidup terlunta menginap di berbagai tempat sebisanya.

Hingga pekan pertama, penderita dan trauma paling pedih sangat dirasakan. Tak ada makan, air bersih, tempat berteduh. Sebaliknya, mereka yang memiliki kewenangan mengambil kebijakan hanya sibuk dengan wacana dan statik menghitung korban. Mirisnya, ada yang berkedok membantu dengan mencari kesempatan dalam kesusahan warga untuk viral di medsos.

Rasa kemanusiaan masyarakat lebih tinggi, dan berbagai kelompok maupun mereka yang memiliki kepedulian tinggi lebih dulu datang dan terjun langsung membawa bantuan kemanusiaan. Tak ketinggalan alumni angkatan 1987 SMA Josua Medan dan Komunitas Intelektual dan Sosial Teknik Sipil 88 Institut Teknologi Medan (ITM) turut empati dengan berbagi kepedulian kepada korban yang hidup dalam gelap gulita, hanya ada penenangan gemericik cahaya bulan dan bintang bintang, bagai kehidupan di alam tak nyata.

Tenda, posko kesehatan, dapur umum kini mulai menunjukan aktivitas. Penerangan dan alat komunikasi yang total tak berfungsi, kini sebagian wilayah yang terdampak bencana mulai dapat diakses.

Belum meratanya pembagian logistik terutama pangan dan air bersih, masih dirasakan mereka yang hidup di ruang sempit, tanpa privasi dan rentan terhadap dinginnya malam atau teriknya siang. Makanan yang tersedia seringkali berupa mi instan atau nasi bungkus yang jauh dari gizi layak, terutama untuk balita, lansia, dan ibu hamil. Kekurangan gizi dan berbagai penyakit mulai mengintai.

Duka dibalut kecemasan masyarakat masih menyelimuti, mengalahkan dinginnya malam tidur tanpa beratap.

Solidaritas kehidupan korban bencana Sumatra adalah kisah tentang ketahanan di tengah kesengsaraan yang luar biasa. Mereka kehilangan segalanya, tetapi yang paling menyengsarakan adalah kehilangan harapan jika bantuan dan perhatian terhenti.
Ayo, jangan berhenti menolong sesama!












