JAKARTA (Waspada.id): Di tengah gemerlap Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, sekelompok seniman muda mempersembahkan karya yang menyatukan masa lalu dan masa depan. Mereka menamai karyanya Drayang: Drama Wayang. Dan sore itu, melalui lakon ‘Kijang Kencana’, Swargaloka menghadirkan sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan: sebuah pertemuan antara akar tradisi dan napas modernitas.
“Tujuan kami sederhana, mengenalkan Drayang dan menumbuhkan semangat tumbuh bersama antar-komunitas seni,” ujar Suryandoro, pendiri Yayasan Swargaloka, dengan suara yang hangat, Selasa (14/10/2025).
Namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan mimpi besar — menjadikan Drayang sebagai opera terbaik dunia, karya yang tak hanya menghibur, tapi juga membanggakan bangsa.
Drayang adalah bentuk cinta pada budaya, pada tanah air, dan pada manusia. Di tangan Swargaloka, wayang yang dahulu hidup di balik kelir kini menjelma dalam cahaya teater modern. Ia mengajarkan bahwa tradisi bukan beban masa lalu, melainkan sumber daya yang tak pernah habis untuk digali.
Drayang lahir dari gagasan berani: menghadirkan wayang dalam bentuk musikal yang modern dan atraktif. Pementasan “Kijang Kencana” menjadi simbol transformasi, menggabungkan musik, tari dan teater dengan bahasa visual yang akrab bagi generasi muda.
Lebih dari 90 persen pemain dan kreatornya adalah anak muda. Mereka datang dari berbagai latar belakang seni, membawa semangat baru untuk menghidupkan kisah klasik tanpa kehilangan nilai-nilai aslinya.
“Drayang ini seperti menjembatani masa lalu dan masa depan,” kata salah satu penonton muda. “Kita bisa merasakan tradisi, tapi tetap relevan dengan kehidupan hari ini,” ujar Suryandoro.
Perjalanan Swargaloka dimulai di Yogyakarta pada 1993, ketika pasangan seniman Suryandoro dan Dewi Sulastri mendirikan komunitas Swargaloka Art Department. Dari sanggar kecil itu, kini tumbuh yayasan besar yang menaungi ratusan seniman lintas usia dan genre.
Melalui lebih dari 100 pementasan di berbagai kota, Swargaloka menjadikan Drayang sebagai ikon baru seni pertunjukan Indonesia.
Beberapa karyanya — Sang Penjaga Hati (2019), Ada Apa dengan Sinta (2023), dan Jiwa Surga Khatulistiwa (2024) — membuktikan bahwa kolaborasi antara tradisi dan inovasi bisa menghadirkan daya tarik global.
Kini, Swargaloka tak hanya rumah bagi seniman, tapi juga ekosistem kreatif yang hidup. Dari Taman Seni Swargaloka di Jakarta Timur, lahir karya-karya yang menyalakan optimisme bahwa seni Indonesia bisa menjadi kekuatan ekonomi kreatif.
Pertunjukan “Kijang Kencana” turut disaksikan Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar, yang memberikan apresiasi atas terobosan Swargaloka.
“Drayang bukan hanya pertunjukan, tapi media pemersatu bangsa,” ujarnya.
“Karya seperti ini adalah wujud diplomasi budaya Indonesia yang sesungguhnya,” sambungnya.
Irene optimistis, jika budaya diolah dengan kreatif, Indonesia bisa hadir di panggung dunia bukan sekadar sebagai penonton, melainkan pelaku utama.
“Drayang menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya tempat healing, tapi sumber kreativitas tak terbatas,” tambahnya.
Bagi Suryandoro, kekuatan sejati seni terletak pada kebersamaan. Ia menyadari betul tantangan yang dihadapi pelaku seni — dari pendanaan hingga penonton berbayar — namun ia memilih menapaki jalan kolaborasi.
“Dengan niat merekatkan persaudaraan, mari tumbuh bersama dan saling memberi manfaat. Karya seni yang kita perjuangkan akan hidup kalau dikerjakan dengan hati dan gotong royong,” imbuh Suryandoro.
Pesan itu sederhana tapi dalam: seni tidak hanya milik seniman, tapi milik semua yang mencintai kehidupan.
Desember mendatang, “Kijang Kencana” akan naik panggung di Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Dari sana, Swargaloka berharap cahaya kecil itu akan menjelma menjadi sinar besar, membawa Drayang, Musikalnya Wayang menuju panggung dunia.(id11)