Scroll Untuk Membaca

Budaya

Geulayang, Warisan Budaya Yang Tidak Lelah Berkibar

Geulayang, Warisan Budaya Yang Tidak Lelah Berkibar
Samsul, pengrajin layang asal Gampong Raya Paya, Kemukiman Bungie, Kecamatan Simpang Tiga, Pidie sedang memasang tali pada layang buatannya, Kamis (9/10).Waspada.id/Muhammad Riza
Kecil Besar
14px

Lebih dari sekadar permainan, geulayang menjadi identitas budaya Aceh yang menumbuhkan rasa bangga dan kebersamaan. Tradisi ini telah mengikat generasi tua dan muda dalam satu langit yang sama.

Suara desir angin dan riuh sorak warga kembali terdengar di langit Gampong Blang, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie.

Puluhan layang-layang tradisional geulayang menari indah di udara, menjadi bukti bahwa warisan budaya Aceh ini belum punah meski teknologi terus melaju pesat.

Permainan geulayang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh. Bukan sekadar hiburan, permainan ini melambangkan kebersamaan, kreativitas, serta semangat gotong royong yang kuat.

Tradisi ini biasanya dimainkan usai musim panen, saat masyarakat bersyukur dan merayakan hasil bumi. Kini, geulayang juga hadir dalam berbagai perlombaan resmi tingkat daerah.

Puncak kemeriahan terlihat saat peringatan U Roe Lagee (HUT) ke-514 Kabupaten Pidie. Pemerintah daerah menggelar lomba Geulayang Tunang yang menarik ratusan peserta dan penonton. Warna-warni layangan memenuhi langit, menciptakan pemandangan yang sarat makna budaya.

“Permainan ini bukan sekadar nostalgia. Geulayang mengajarkan kerja sama, kesabaran, dan ketekunan,” ujar salah satu panitia lomba dengan bangga.

Pengrajin

Meski permainan digital semakin menguasai anak-anak muda, para pengrajin layangan tradisional di Kecamatan Simpang Tiga tetap setia merawat warisan ini. Salah satunya Samsul, 40, warga Gampong Raya Paya, yang sudah 18 tahun menekuni pembuatan layangan.

Ia mengaku sempat khawatir tradisi ini akan pudar, tetapi kini semangat masyarakat mulai kembali.

“Beberapa tahun lalu minat masyarakat memang menurun. Tetapi sekarang banyak anak dan orang dewasa mulai tertarik lagi, apalagi sering ada festival,” tutur Samsul kepada waspada, Kamis (9/10).

Kata dia, proses pembuatan geulayang dilakukan dengan teliti. Bambu dipilih sebagai rangka utama, sedangkan badan layangan menggunakan kertas minyak atau plastik. Desainnya beraga dari bentuk tradisional khas Aceh hingga bentuk ikan dan burung yang unik.

Layangan buatan pengrajin Pidie kini tidak hanya dimainkan di kampung halaman, tetapi juga dikirim ke berbagai daerah untuk kejuaraan dan festival layang-layang. Kreativitas dan inovasi membuat geulayang tetap relevan di era modern.

Simbol Identitas dan Harapan

Lebih dari sekadar permainan, geulayang menjadi identitas budaya Aceh yang menumbuhkan rasa bangga dan kebersamaan. Tradisi ini telah mengikat generasi tua dan muda dalam satu langit yang sama.

Samsul berharap pemerintah Kabupaten Pidie terus memberi dukungan, mulai dari pelatihan pengrajin hingga pengadaan festival rutin, agar tradisi ini tidak sekadar menjadi cerita masa lalu.

“Kalau kita terus melestarikan, geulayang akan tetap berkibar sampai anak cucu kita,” ujarnya.

Muhammad Riza

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE