Scroll Untuk Membaca

Citizen Journalism

PPPK Jadi Calon Keuchik, Solusi Atau Sumber Konflik?

PPPK Jadi Calon Keuchik, Solusi Atau Sumber Konflik?
Kecil Besar
14px

Setelah Mahkamah Konstitusi menolak perpanjangan masa jabatan keuchik di Aceh, kisruh terkait PPPK yang maju sebagai calon kepala desa mulai mencuat di sejumlah gampong, Jumat (26/9/2025). Usai adanya kepastian masa jabatan keuchik, tahapan pilchiksung pun kembali berjalan di Aceh.

Sebelumnya, Pemerintah Aceh sempat menunda pelaksanaan Pilchiksung melalui surat Sekda Nomor 400.10/4007 tertanggal 22 April 2025 yang ditandatangani Plt Sekda Muhammad Nasir.

Surat tersebut menginstruksikan agar pemilihan bagi keuchik yang masa jabatannya berakhir antara Februari 2024 hingga Desember 2025 ditunda sementara, sambil menunggu putusan MK. Sementara untuk keuchik yang masa jabatannya berakhir pada 2022, 2023, dan Januari 2024, tahapan pemilihan tetap dilaksanakan.

Pasca putusan MK, Pemerintah Aceh kembali memberi izin penuh untuk melaksanakan Pilchiksung di seluruh gampong yang sudah habis masa jabatan keuchiknya.

Di Aceh Utara, Sekda Dr. A. Murtala melalui surat Nomor 141/1173 tertanggal 19 Agustus 2025 telah meminta camat dan penjabat geuchik segera melaksanakan tahapan pemilihan langsung.

Muadi Buloh, seorang pemerhati desa, menilai persoalan PPPK Jadi Calon Keuchik berpotensi mengganggu ketenteraman masyarakat di tingkat gampong. Pasalnya, beberapa desa di Kabupaten Aceh Utara menerima berkas calon keuchik yang berstatus ASN/PPPK baik paruh waktu maupun penuh waktu, padahal hal tersebut dianggap bertentangan dengan regulasi negara.

Menurut Muadi, penerimaan berkas calon geusyik dari ASN/PPPK seharusnya tidak perlu terjadi. Kondisi ini dapat menimbulkan ketidakadilan di antara calon lain yang ikut mendaftar.

“Ini bukan sekadar masalah hukum, tapi juga menyangkut keadilan sosial dan masa depan demokrasi desa. Kalau aturan tidak jelas, bisa terjadi sengketa, bahkan sampai ke ranah hukum,” ujar Muadi.

Ia menambahkan, jika ASN/PPPK dibolehkan maju tanpa syarat mundur, maka rasa ketidakadilan akan muncul. Warga biasa akan merasa tidak memiliki akses dan fasilitas yang sama dengan ASN.

Lebih jauh, Muadi menjelaskan bahwa secara hukum ASN/PPPK memang tidak boleh mendaftar sebagai kepala desa maupun jabatan politik lainnya.

“Dalam UU Desa No. 3 Tahun 2024 jelas ditegaskan bahwa calon kepala desa tidak boleh sedang menjabat sebagai pejabat pemerintahan.

Hal ini sejalan dengan UU ASN No. 20 Tahun 2023 yang menegaskan bahwa PPPK, baik penuh maupun paruh waktu, termasuk dalam kategori ASN, dan ASN dilarang merangkap jabatan politik. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan, ‘ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintahan.’” tegasnya.

Ia juga mengutip Permendagri 112/2014, yang mengatur bahwa ASN yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala desa wajib mengundurkan diri secara tertulis sebelum mendaftar. Hal senada diatur pula dalam Qanun Aceh No. 4 Tahun 2009, yang menyebut calon keuchik tidak boleh berasal dari pejabat pemerintahan.

“Kalau ada PPPK yang berniat maju, langkah pertama yang wajib dilakukan adalah mengundurkan diri secara resmi dari status ASN/PPPK. Sebab ASN, termasuk PPPK paruh waktu, digaji dari APBN atau APBK,” jelas Muadi.

Menurutnya, jika ASN masih berstatus aktif namun ikut kontestasi politik, hal itu sama saja mencampuradukkan jabatan birokrasi dengan jabatan politik. “Ini berpotensi menimbulkan benturan kepentingan dan mencederai netralitas ASN,” tambahnya.

Muadi menegaskan, Pilchiksung adalah pesta demokrasi yang paling dekat dengan rakyat. Jika sejak awal ada celah aturan, maka potensi konflik horizontal semakin besar.

Karena itu, ia berharap Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Utara, segera memberikan instruksi serta pedoman teknis terkait status ASN/PPPK Paruh Waktu dan Penuh Waktu yang ingin maju sebagai calon kepala desa.

“Pedoman ini harus disampaikan terbuka kepada panitia Pilchiksung di tingkat gampong, agar mereka punya pegangan kuat dalam memverifikasi bakal calon. Dengan begitu, tidak ada ruang multitafsir, dan proses demokrasi desa bisa berjalan lancar,” pungkas Muadi Buloh.

Muadi menekankan, kepastian hukum sangat penting, bukan hanya untuk melindungi aturan, tetapi juga demi menjaga keadilan dan kehormatan demokrasi gampong.

“Karena keuchik adalah pemimpin paling dekat dengan rakyat, maka biarlah ia dipilih melalui proses yang bersih, jujur, dan tanpa keraguan hukum,” tutupnya.

Pengirim Muadi Baloh ST Pemerhati Desa dan Pengurus Yayasan Hijau Bina Desa Cerdas

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE