Karena di langit yang kita percaya aman, satu pesan palsu bisa membuat semuanya kacau.
Pesawat Saudia Airlines yang mendarat darurat di Bandara Internasional Kualanamu, Deliserdang, Selasa pagi (17/6), menjadi alert bahwa ancaman terorisme—sekalipun hanya dalam bentuk pesan elektronik—masih menjadi momok global. Ancaman bom yang dikirim lewat email ke Bandara Soekarno-Hatta cukup untuk mengubah rute penerbangan internasional, memaksa 442 penumpang jemaah haji turun darurat, dan menggerakkan seluruh instrumen keamanan negara.
Untungnya, tidak ada korban jiwa. Tapi, jangan salah. Efek dari ancaman seperti ini jauh melampaui perihal keterlambatan atau kepanikan sesaat. Ini soal kepercayaan publik terhadap sistem keamanan bandara dan protokol keselamatan penerbangan internasional. Dan ini—satu lagi—soal wibawa negara.
Indonesia pernah punya pengalaman kelam dengan bom di area transportasi publik. Kita tidak lupa pula tragedi mematikan bom Bali 2002, bom JW Marriott, bahkan peristiwa ancaman bom di Bandara Soekarno-Hatta pada 2016 yang sempat membuat beberapa penerbangan terganggu. Meski banyak dari ancaman tersebut akhirnya tidak terbukti, semua tetap berakhir pada satu pelajaran: setiap ancaman, sekecil apapun, wajib ditanggapi dengan serius.
Di luar negeri, ancaman semacam ini juga terjadi berulang. Tahun 2022, pesawat Ryanair dari Krakow ke Dublin terpaksa dialihkan ke London karena ancaman bom. Di Pakistan, tahun lalu, maskapai lokal terpaksa kembali ke bandara asal setelah ancaman serupa. Bahkan beberapa bandar udara di Amerika Serikat pernah lumpuh akibat laporan bom palsu yang disampaikan melalui telepon atau email anonim.
Ancaman fiktif bukan berarti tidak berbahaya. Justru di era digital ini, di mana kepanikan bisa menyebar lebih cepat dari pesawat terbang, dampaknya bisa massif; dari kerugian finansial maskapai hingga disrupsi total layanan bandara.
Respons cepat dan terkoordinasi dari tim Jihandak Polda Sumut, TNI AU, dan otoritas Bandara Kualanamu patut diapresiasi. Tidak ada reaksi berlebihan, tidak pula pengabaian yang ceroboh. Pemeriksaan menyeluruh dilakukan, penumpang dievakuasi dengan aman, dan skenario terburuk tidak terjadi.
Namun ini bukan akhir dari ujung teror. Pemerintah perlu memperkuat sistem deteksi dini terhadap ancaman siber yang menyasar penerbangan. Kerja sama intelijen sipil dan militer harus ditingkatkan, dan SOP tanggap darurat di bandara perlu ditinjau ulang agar lebih presisi dalam mengelola insiden serupa di masa depan.
Jangan tunggu sampai ledakan benar-benar terjadi di landasan, baru kita merasa pentingnya pencegahan. Dunia telah memberi banyak contoh; kita hanya perlu lebih serius belajar dan bersiap. Karena di langit yang kita percaya aman itu, satu pesan palsu bisa membuat semuanya kacau. Dan jika tak ditanggapi dengan kepala dingin dan sistem yang kuat, ancaman semacam ini akan terus jadi alat teror yang murah namun mematikan.