Editorial

Banjir Medan Dan Empati Wali Kota Untuk Warga “Kelas Satu”

Banjir Medan Dan Empati Wali Kota Untuk Warga “Kelas Satu”
Kecil Besar
14px

Hilangnya 13 nyawa adalah “alarm keras” yang menunjukkan mitigasi dan kesiapsiagaan Pemko Medan gagal total.

Di kota yang sibuk memoles diri dengan lampu taman dan mural instagramable, air datang tanpa banyak basa-basi. Malam 27 November 2025, Medan bukan lagi kota kuliner dan kafe, melainkan kota arus cokelat yang menyeret kursi plastik, kasur busa, bahkan nyawa manusia. Tiga belas warga meninggal, banyak lainnya mengungsi meninggalkan rumah yang tinggal jejak di dinding yang lembap.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Data resmi mencatat 19 dari 21 kecamatan terendam, lebih dari 85 ribu jiwa tersebar di ratusan titik pengungsian. Di Medan Utara, air setinggi lutut orang dewasa betah berhari-hari, meninggalkan lumpur tebal. Di lorong-lorong Gaperta Ujung, warga hanya melihat relawan mondar-mandir dengan logistik seadanya sambil berbisik, “Mana perahu, mana wali kota?”

Jawaban yang datang justru berupa video viral: seorang wali kota tampan dengan topi pet hitam menutupi rambut klimisnya, mengenakan jaket parasut eiger warna hitam menempel pas di badan, bergelantungan di sisi sebuah jip tinggi di perumahan mewah Givency One. Di sisi lain, Kapolrestabes dan Dandim ikut bergelayut seperti figuran film laga murahan. Tiga pejabat teras, sibuk menyelamatkan satu keluarga “kelas satu”. Wali Kota Riko tampak sumringah. Banjirnya sama, airnya sama, tapi perhatian tampaknya punya kelas sosial sendiri.

DPRD Kota Medan sudah lantang bersuara. Ketua Komisi II, Kasman Lubis, menyebut hilangnya 13 nyawa adalah “alarm keras” yang menunjukkan mitigasi dan kesiapsiagaan Pemko Medan gagal total. Drainase rusak dibiarkan, tata ruang tunduk pada selera pengembang. Anggota DPRD Edwin Sugesti Nasution menambahkan, di daerah rawan banjir bahkan perahu karet pun tidak disiagakan; warga menunggu air surut sambil menggenggam doa.

Namun di layar kaca dan linimasa, Wali Kota Rico Waas tampil lain. Ia selalu masuk frame dari sudut terbaik: penampilan parlente, wajah tanpa noda lumpur, sepatu mengilap meski berdiri di tengah genangan. Di belakangnya, para “penjilat” sibuk memastikan tiap tetes banjir berubah menjadi konten heroik. Di kota yang sedang tenggelam, pencitraan bekerja seperti payung bocor: melindungi sedikit kepala di tengah ribuan tubuh kuyup.

Gaya flamboyan Rico yang menggemari peresmian taman, festival kopi, dan slogan “Medan Kota Modern” kontras dengan kenyataan parit dangkal, sungai menyempit, dan izin perumahan yang menekan lahan resapan. Di rapat-rapat, pejabat bawahannya fasih menyebut “mitigasi” dan “early warning system”, tetapi di lapangan warga justru mengandalkan grup WhatsApp dan teriakan tetangga ketika air naik tengah malam. Kota menyiapkan baliho, bukan peta evakuasi.

Beginilah wajah pemerintahan Wali Kota Rico: lebih dulu menyeka keringat warga “kelas satu” ketimbang mengulurkan tangan pada warga yang terseret arus. Anggaran mitigasi bencana kecil, program pencegahan minim, pelaksanaannya lemah. Yang penting, setiap kegiatan punya spanduk besar dengan foto sang pemimpin dan kalimat manis tentang kepedulian. Selebihnya, banjir diserahkan pada nasib dan doa ibu-ibu di pengajian.

Publik tidak sedang menuntut kesempurnaan. Tak ada kota yang kebal banjir. Tetapi ada jarak lebar antara pemimpin yang hadir lebih dulu di gang-gang becek dan pemimpin yang baru menghafal nama sungai ketika kamera sudah menyala. Ada perbedaan antara kebijakan yang lahir dari kajian tata ruang dan kebijakan yang lahir dari bisikan kontraktor di lobi hotel.

Rico Waas masih punya sisa masa jabatan. Ia bisa memilih ingin tercatat sebagai wali kota yang rambutnya selalu rapi di tengah genangan, atau sebagai pemimpin yang berani “mengotori” sepatu di tengah bencana: mengaudit izin perumahan, menata ulang drainase, memperbesar anggaran mitigasi, dan menempatkan perahu karet di tiap kelurahan rawan banjir, bukan hanya di komplek elit. Data 13 nyawa dan 19 kecamatan yang luluh lantak sudah cukup menjadi kitab pelajaran, bukan sekadar daftar korban di podium.

Di kampung-kampung, orang tua dulu berpesan: pemimpin yang terlalu sibuk dipuji jarang sempat mendengar jeritan. Banjir Medan telah mengubah nasihat itu menjadi darah dan lumpur yang menempel di dinding rumah. Jika setelah semua ini Wali Kota Rico Waas masih lebih tekun mengurus pencitraan daripada memperkuat mitigasi, membenahi drainase, menambah anggaran pencegahan, dan memastikan perahu karet siaga di kampung-kampung langganan banjir, maka sejarah tak akan mencatatnya sekadar sebagai kepala daerah. Ia akan dikenang sebagai wali kota yang, di tengah air bah, lebih rajin “menjilat” warga kelas satu ketimbang menggandeng tangan warga pinggiran agar tidak tenggelam bersama kota tua yang saban tahun disergap banjir.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE