Scroll Untuk Membaca

Editorial

Bau Busuk Di Lantai Bursa USU-1

Bau Busuk Di Lantai Bursa USU-1
Kecil Besar
14px

Meritokrasi “dilumpuhkan”. Pemilihan rektor diorkestrasi berasa pemilihan gubernur.

“Uang itu dikembalikan.” Cerita seorang pejabat kampus yang meminta namanya dirahasiakan. Ia menunjuk pada peristiwa yang bikin geger Medan awal Juli: penggeledahan rumah Topan Obaja Putra Ginting oleh KPK. Dari sana, penyidik menyita uang tunai Rp2,8 miliar. Sejak itu, aroma tidak sedap menguar ke udara Universitas Sumatera Utara (USU).

Kebetulan atau tidak, uang miliaran itu muncul saat mesin pemilihan rektor mulai dipanaskan. Masa jabatan Rektor Muryanto Amin habis Januari 2026. Sesuai aturan, pemilihan wajib digelar lima bulan sebelumnya. Panitia resmi sudah terbentuk, tahapan dijadwalkan, semuanya rapi di atas kertas. Tapi di lorong-lorong fakultas, rumor politik uang beredar jauh lebih cepat ketimbang siaran pers panitia.

Hitung-hitungannya sederhana: rumor “berkecamuk” 112 suara anggota Senat Akademik bisa ditebus dengan Rp250 juta per kepala. Totalnya sekitar Rp28 miliar. Angka itu mirip dengan gosip “dana pengamanan” yang disebut-sebut dikumpulkan kubu petahana. Bahkan kabarnya, sebagian besar suara sudah diamankan sejak dini. Maka, sisa dana yang tak terpakai konon dikembalikan—salah satunya lewat temuan Rp2,8 miliar di rumah Topan. Ini matematika yang terlalu rapi untuk disebut kebetulan.

Nama-nama besar ikut terseret. Topan sendiri sudah berstatus tersangka kasus proyek jalan di Sumut. Gubernur Bobby Nasution ikut disebut-sebut sebagai “penyokong dana”. Muryanto dipanggil KPK, bukan sebagai tersangka, tapi saksi. KPK bilang Muryanto masuk “circle”-nya Topan–Bobby. Pernyataan resmi itu cukup memberi sinyal bahwa hubungan bisnis–politik–kampus sedang dipetakan lembaga antirasuah itu.

Di sisi kampus, roda formalitas terus bergerak, berputar melintasi jarum jam. Panitia pemilihan menebar janji transparansi. Formulir pendaftaran dibuka, audisi calon disiapkan, visi-misi ditulis rapi di dokumen resmi. Semua tampak bersih, steril, akademis. Namun, seperti kata seorang guru besar, “Kalau senat diintervensi dengan uang, apa yang tersisa dari martabat akademik?” Pertanyaan yang lebih pedih ketimbang satire paling getir.

Ironinya, kisah “amplop rektor” bukan cerita baru di negeri ini. Tapi di USU, drama itu beririsan dengan kasus korupsi infrastruktur yang sedang disorot KPK. Jadilah dua arus yang berkelindan: hukum dan akademik. Yang satu berburu bukti suap proyek, yang lain dibayang-bayangi tuduhan suap pemilihan rektor. Bila keduanya bertemu di simpang jalan, USU bisa jadi panggung skandal nasional paling menjijikkan.

Muryanto sendiri punya semua modal untuk melenggang ke periode kedua: jaringan politik, logistik, kedekatan dengan pusat, hingga dukungan pemerintah daerah. Ia tampil sebagai rektor yang “punya akses”. Tapi akses itulah yang bisa menjadi pedang bermata dua. Dalam tata kelola universitas yang sehat, garis pemisah antara pengayoman dan intervensi mestinya dijaga setegak-tegaknya. Masalahnya, di USU, garis itu sudah tampak kabur. Kebijakan Muryanto—satu periode memimpin kampus—dituding berlumur persoalan dan feodalistis. Meritokrasi “dilumpuhkan”. Pemilihan rektor diorkestrasi berasa pemilihan gubernur. “Berselemak uang,” kata orang Medan.

Dari sisi hukum, pembuktian praktik suap di pilrek memang rumit. Apakah anggota senat bisa dikategorikan penyelenggara negara? Bagaimana alur uang bisa ditarik ke meja hijau? Apa bukti yang bisa lebih kuat dari bisik-bisik di lorong fakultas? Sampai kini, KPK masih fokus pada perkara jalan. Tapi publik kampus berharap lembaga antikorupsi tak menutup mata pada aroma lain yang lebih dekat dengan dunia akademik.

USU, lima tahun terakhir, kerap disebut kehilangan denyut intelektual. Perdebatan akademis meredup, guru besar lebih sibuk menjaga posisi ketimbang suara kritis. Kini, menjelang pemilihan, kampus kembali diuji: apakah senat akan memilih dengan integritas, atau menyerahkan suara pada amplop?

Jika marwah akademik bisa dijual dengan harga Rp250 juta per kepala, maka sejarah USU bukan lagi tentang ilmu pengetahuan, melainkan tentang tarif kursi. Dan bau busuk itu akan terus menghantui, jauh melampaui satu periode jabatan rektor—gegara Muryanto!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE