Sijabat—pengacara senior itu—mengaku muak melihat polah oknum-oknum di PN Lubuk Pakam yang suka mempermainkan rakyat kecil pencari keadilan.
Ada begal yang tak memakai kelewang. Ia cukup membawa map berisi administrasi—lalu merampas inti perkara di depan mata publik. Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, kematian Ripin alias Achien, 23 tahun, kembali “tersandung”, bukan pada pertanyaan paling penting—siapa membunuh dan bagaimana nyawa itu dirampas—melainkan pada selembar prosedur yang diperlakukan seperti jimat, berlumur kepalsuan.
Praperadilan yang semestinya menjadi rem terhadap kesewenang-wenangan berubah menjadi jalan tikus untuk meloloskan tanggung jawab. Putusan praperadilan pada Kamis, 11 Desember 2025 memerintahkan pembebasan Juwita, 58 tahun, dan anaknya Kevin, 24 tahun, serta menyatakan penetapan tersangka, penyidikan, penangkapan, dan penahanan “tidak sah” karena cacat hukum administratif. Polisi menyebut penyidikan akan diberkas ulang—kalimat “banci” yang terdengar tegas, tapi sering berujung pada pengulangan ketidakseriusan.
Di titik inilah amarah pengacara keluarga korban, Mardi Sijabat, meledak-ledak. Ia menyebut hakim tunggal praperadilan Adil Martogu Franky Simarmata sebagai “raja tega” dan menegaskan, “Ini perkara pembunuhan bukan delik aduan: ada atau tidaknya laporan, penegak hukum tetap berkewajiban menindaklanjuti.”
Sijabat—pengacara senior itu—mengaku muak melihat polah oknum-oknum di PN Lubuk Pakam yang suka mempermainkan rakyat kecil pencari keadilan. “Kalau pembunuh Ripin melarikan diri, apakah Ketua PN Lubuk Pakam mau bertanggung jawab?” tegas Sijabat dengan nada mengeras.
Masalahnya bukan semata putusan; melainkan aroma “diatur” yang dibiarkan menempel pada proses penyidikan hingga persidangan. Mardi menuding sprindik Nomor 149 tertanggal 27 Oktober 2025 tak pernah ditunjukkan sebagai bukti di persidangan—namun justru dijadikan pijakan untuk menyatakan proses cacat prosedur. Ia bahkan menduga ada unsur kesengajaan: dokumen tertentu “tidak dihadirkan” agar perkara tampak cacat dan tersangka terbebas. Ini bukan vonis publik; ini alarm keras dari pihak korban yang wajib diuji lewat mekanisme pengawasan—bukan ditenggelamkan dengan ucapan basi “penyidikan diulang”.
Dugaan permainan itu kian masuk akal ketika kita menengok jejak sebelumnya. Pada Juli 2025, tim Propam Polda Sumut dilaporkan memeriksa penyidik karena penanganan kasus Ripin dinilai lamban—bahkan disebut ada beberapa penyidik yang dipanggil. Jika sejak awal pengawasan internal sudah berbunyi, mengapa lubang prosedur tetap dibiarkan menganga sampai praperadilan menjadi palu pembebas?
Lalu ada episode gelar perkara di Polda Sumut pada 17 September 2025: dihadiri unsur pengawasan (Propam dan Itwasda), penyidik, kuasa hukum korban, sampai pihak terlapor. Di sana, versi-versi saling bantah: dari narasi “kecelakaan” hingga dugaan rekayasa. Fakta bahwa perkara harus “ditarik” ke ruang supervisi menunjukkan publik tak sedang berhadapan dengan kasus biasa—melainkan dengan sistem yang mudah lelah ketika berhadapan dengan kemungkinan kejahatan serius.
Praperadilan mestinya memaksa polisi bekerja professional bukan amatiran dan hakim memutuskan dengan cermat. Yang terjadi justru sebaliknya: keamatiran itu berubah menjadi komoditas, kecermatan terancam tergelincir menjadi formalitas. Ketika sprindik dan administrasi diperlakukan bak pintu darurat untuk keluar dari jerat perkara, maka hukum sedang dibegal dari dalam: substansi dibuang, prosedur dijadikan kendaraan, keluarga korban yang lelah berjuang selama enam bulan diminta bersabar sambil menatap ruang sidang yang dingin.
Karena itu, dugaan permainan—antara penyidik dan tersangka, bahkan kecurigaan publik terhadap relasi tersangka dengan hakim—harus dijawab dengan langkah yang terukur dan terbuka. Keluarga korban berhak menempuh Komisi Yudisial, dan aparat kepolisian wajib membuka audit internal yang bisa diuji: siapa yang menahan dokumen, siapa yang lalai menghadirkan bukti, dan mengapa “cacat administratif” bisa menjadi tiket bebas dalam perkara yang berpotensi merusak ketertiban umum.
Jika negara masih punya hati nurani, kasus Ripin tak boleh berhenti di kalimat “pemberkasan ulang”. Pengulangan hanya berguna bila disertai koreksi: disiplin penyidik yang terukur, transparansi berkas yang dapat diaudit, dan pengawasan etik peradilan yang tak berkompromi. Tanpa itu, praperadilan akan terus menjadi panggung favorit bagi begal hukum—dan kita semua dipaksa menonton nyawa manusia dipermainkan oleh stempel palsu penyidik dan hakim praperadilan yang cacat moral.











