Ketika Bupati Asri Luddin Tambunan melihat bencana dari sisi kemanusiaan dan lensa perubahan iklim, bukan popularitas.
Hujan deras tak lagi kabar biasa. Sejak akhir November 2025, bibit siklon tropis berkembang menjadi Siklon Senyar yang membawa hujan lebat ke Sumatra Utara. BMKG mencatat curah hujan lebih dari 230 mm per hari di beberapa stasiun—debit yang sulit ditampung sungai. Lingkungan yang rusak oleh alih fungsi lahan membuat air mengalir liar dan mengubah curah hujan ekstrem menjadi bencana.
Banjir dan longsor yang menerjang Deliserdang sejak 27 November 2025 melumpuhkan kehidupan ribuan orang. Data menunjukkan genangan air merendam lebih dari 15 000 rumah dan membuat 70 000 jiwa terdampak. Pendataan lanjutan mencatat hingga 30 609 rumah dengan 170 760 jiwa terendam. Beberapa laporan bahkan menyebut 40 094 rumah, 207 441 jiwa terdampak, dan 16 korban meninggal—perbedaan angka mencerminkan kondisi dinamis. Yang pasti, ratusan ribu orang terpapar bahaya.
Longsor memperparah keadaan. Jalan desa tertimbun, jembatan putus dan beberapa titik tertimbun material setinggi satu meter, memutus akses logistik dan evakuasi.
Laporan petugas mencatat 96 titik banjir dengan kedalaman bervariasi antara 20 sentimeter hingga lebih dari satu meter; 22 titik di antaranya kategori parah. Warga mengungsi ke bangunan bertingkat dan sekolah sementara petugas mendistribusikan makanan dan bantuan.
Siklon Senyar memicu hujan berhari-hari, tetapi dampak buruknya diperbesar oleh ulah manusia. Penebangan hutan mengurangi kemampuan tanah menyerap air dan permukiman di sempadan sungai membuat banyak keluarga berada di jalur banjir. Peringatan dini dari otoritas cuaca sudah dikeluarkan, tetapi mitigasi dan penataan ruang yang lemah membuat kerusakan meluas.
Menghadapi ancaman, pemerintah Deliserdang bergerak cepat. Bupati Asri Ludin Tambunan—akrab disapa dokter Aci—menekankan kepada seluruh aparaturnya bahwa keselamatan warga adalah prioritas utama, tak ada tawar menawar. “Para Camat dan jajarannya hingga ke desa harus turun ke lapangan membantu korban, jika tidak saya pecat,” ancam Asri dengan nada tegas. Posko kesehatan, dapur umum, dan tempat pengungsian dibuka. Perahu dan tenda dikerahkan untuk evakuasi, dan fasilitas kesehatan disiagakan tanpa menolak pasien. Pemerintah menyediakan call center 112 dan hotline agar warga bisa meminta bantuan.
Koordinasi antar lembaga menjadi kunci. BPBD, aparat kecamatan, TNI, Polri, Palang Merah, dan relawan bekerja bersama. Data lapangan diperbarui setiap hari untuk menyalurkan bantuan. Walau korban jiwa tidak dapat dihindari, angka 16 orang jauh lebih kecil dibanding potensi korban jika evakuasi terlambat. Solidaritas warga dan swasta, dari logistik hingga perahu, menopang operasi.
Upaya ini juga menunjukkan pentingnya komunikasi publik. Ratusan aduan masuk ke call center 112, mulai dari permintaan evakuasi lansia hingga laporan pohon tumbang. Petugas medis mendatangi warga yang sakit, dan dapur umum bergerak dari satu kampung ke kampung lain. Walau aliran listrik terputus, informasi disebar melalui pengeras suara dan jejaring sosial. Kecepatan menyebarkan informasi membuat banyak keluarga mampu menyelamatkan diri sebelum banjir mencapai puncak.
Penanganan di Deliserdang memberikan beberapa pelajaran penting: respon cepat dapat menyelamatkan banyak nyawa; transparansi data membantu masyarakat memahami skala bencana; layanan publik seperti dapur umum, posko kesehatan, dan nomor darurat harus selalu siap; dan pendekatan holistik—evakuasi, bantuan logistik, perbaikan infrastruktur, hingga pemulihan ekonomi—membantu warga bangkit. “Beberapa saat setelah banjir, bantuan sembako datang ke rumah kami. Alhamdulillah, kami warga di sini merasa terbantu karena pemerintah hadir,” kata Hamka, 60 tahun, warga Tanjung Morawa, Deliserdang, Sumatera Utara.
Namun keberhasilan ini tidak boleh membuat lengah. Perbaikan jangka panjang seperti rehabilitasi hutan, normalisasi sungai, penertiban permukiman di bantaran sungai, serta edukasi mitigasi bencana harus menjadi agenda. Sistem peringatan dini harus dipastikan sampai ke warga. Pelatihan evakuasi di sekolah dan desa meningkatkan kesiapsiagaan. Koordinasi lintas kabupaten mutlak karena sungai tidak mengenal batas administrasi.
Kisah Deliserdang boleh menjadi teladan. Mesin pemerintahan yang dihidupkan oleh Bupati Asri Luddin memperlihatkan bagaimana kesigapan pemimpin lokal dan soliditas masyarakat dapat mengubah krisis menjadi pelajaran berharga. Di balik duka para korban banjir dan longsor, kita melihat spirit gotong royong dan kecepatan bertindak yang memantik inspirasi.
Di tengah krisis iklim, jangan menunggu bencana datang untuk bersiap. Daerah lain bisa belajar dari sini: bangun sistem peringatan dini yang peka, tata ruang dengan hormat kepada alam, dan rajut jaringan respon cepat. Dengan begitu, setiap tetes hujan tak lagi membawa ancaman, melainkan kesempatan untuk memperkuat kewaspadaan. Saat sungai meluap dan tanah bergerak, kita siap melindungi warga. Spirit inspirasi yang bertunas di Deliserdang ini hendaknya terus disirami hingga tumbuh besar di seluruh Nusantara.












