Scroll Untuk Membaca

EditorialHeadlines

Bobby KO Di Ronde Ke “Empat Pulau”

Bobby KO Di Ronde Ke “Empat Pulau”
Kecil Besar
14px

Bagi Bobby, ini lebih dari kekalahan teknis. Ini KO politis. Ia datang ke ring dengan dokumen, pulang dengan pelajaran.

Di atas panggung republik, drama perbatasan kadang lebih seru dari laga UFC. Namun kali ini, panggung itu menyajikan duel politik paling simbolik tahun ini: Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution melawan Gubernur Aceh Muzakir Manaf, alias Mualem. Pertarungannya bukan soal kursi, tapi pulau—empat pulau tepatnya—yang sempat digiring dari Singkil ke Tapanuli lewat lorong administratif Kementerian Dalam Negeri.

Bobby, menantu mantan presiden dan jebolan istana, tampak percaya diri sejak awal. Dengan modal Keputusan Mendagri tertanggal 25 April 2025 yang menyatakan empat pulau itu bagian dari Sumut, ia tampil di berbagai forum dengan retorika kolaborasi. Di bibirnya, ajakan “kerja sama” terdengar manis, meski di peta, keempat pulau itu sudah terpaksa pindah KTP.

Tapi Mualem bukan lawan sembarangan. Di balik wajah tenangnya, tersimpan kecermatan gerilyawan tua yang pernah menata medan konflik lebih ruwet dari sengketa batas. Ketika Bobby masih mengumpulkan goodwill dan pernyataan diplomatis, Mualem langsung menyalakan mesin pengaruhnya ke jalur presiden.

Dan… jab, jab, hook!

17 Juni 2025. Di Istana Presiden, Menteri Sekretaris Negara mengumumkan: Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek kembali menjadi bagian sah Provinsi Aceh. Bukan karena tekanan massa, bukan juga karena debat panjang, tapi karena Presiden Prabowo—seperti seorang wasit veteran—memutuskan menghentikan pertarungan yang sudah terlalu banyak pelanggaran administratif.

Bagi Bobby, ini lebih dari kekalahan teknis. Ini KO politis. Ia datang ke ring dengan dokumen, pulang dengan pelajaran. Ternyata, legitimasi sebuah wilayah tak cukup diperoleh dari surat gubernur dan arsip Kementerian yang terlalu lama tak disisir ulang. Ia butuh sesuatu yang lebih substansial: jejak sejarah, kejelasan geografi, dan—sayangnya bagi Bobby—pendekatan diplomasi yang tidak menganggap lawan sebagai subkontraktor wilayah.

Ironisnya, semua berawal dari kekeliruan 2009 soal verifikasi nama pulau dalam program rupabumi nasional. Tapi seperti biasa, birokrasi kita memiliki bakat mengawetkan kesalahan dan mengarsipkan kebenaran. Alhasil, kekeliruan pun sempat disahkan menjadi keputusan.

Mualem paham, ini bukan cuma soal tanah dan laut, tapi soal marwah. Ia menembus kekisruhan bukan dengan membantah, tapi menyodorkan bukti, peta Hindia Belanda, tata ruang lokal, dan ingatan sejarah yang terlalu kuat untuk dihapus spreadsheet.

Presiden Prabowo pun membaca situasi bukan hanya sebagai birokratisi, melainkan sebagai koreksi sejarah. Ia memilih posisi yang benar: menolak jadi penonton dari perkelahian antardaerah yang justru lahir dari kekeliruan pusat.

Kini, Bobby harus menelan pil pahit yang tak tersedia di apotek politik: bahwa menjadi bagian dari lingkaran istana bukan berarti kebal dari logika hukum dan sejarah.

Empat pulau itu kini kembali ke rumahnya. Dan Aceh—dengan tenang, tanpa tepuk tangan—menutup satu babak menyakitkan dalam sejarah ketidakadilan administratif. Sedangkan Bobby, semoga di sisa jabatan yang masih panjang, mulai belajar: bahwa peta bukan alat tawar-menawar, tapi penanda kehormatan. Dan kehormatan, seperti pulau, tidak bisa direbut diam-diam hanya karena kita merasa paling kuasa.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE