Editorial

Borok Kredit Dan Reformasi Bank Sumut

Borok Kredit Dan Reformasi Bank Sumut
Kecil Besar
14px

Di balik itu, ada kepentingan politik lokal yang kadang lebih cepat meraih akses daripada tata kelola yang sehat.

Bank milik daerah seharusnya menjadi wahana publik: tempat menyimpan kepercayaan, menyalurkan kredit produktif, dan mengantar pendapatan daerah lewat dividen. Kenyataan terakhir yang terpapar lewat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK menampakkan wajah lain—wajah birokrasi yang lengah dan tata kelola yang rapuh. BPK menemukan kredit tak tertagih senilai sekitar Rp15,34 miliar dan indikasi restrukturisasi serta pemberian fasilitas yang tidak sesuai prosedur di beberapa cabang, temuan yang menimbulkan pertanyaan serius soal integritas proses kredit di Bank Sumut.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Permasalahan ini tidak kecil. Di satu sisi laporan keuangan Bank Sumut tetap menunjukkan pertumbuhan aset yang impresif—menurut laporan triwulan terakhir aset tercatat di kisaran Rp47 triliun—namun di sisi lain, deretan kasus kredit bermasalah yang menganga sejak beberapa tahun terakhir menunjukkan ada jurang antara angka besar di neraca dan kesehatan tata kelola yang riil. Pertumbuhan aset tanpa pengendalian adalah seperti gedung megah tanpa fondasi; indah dilihat, tapi rapuh saat angin bertiup.

Sebab-akibatnya berlapis. Ketika divisi kredit mengambil keputusan yang tidak konsisten dengan analisis risiko, ketika hasil analisis risiko tidak menjadi acuan utama, ketika intervensi—termasuk yang berbau politik—mengintip di balik meja persetujuan, maka konsekuensinya bersifat multiplikatif: pembengkakan kredit bermasalah, cadangan kerugian meningkat, keuntungan menipis, lalu bergulir ke penerimaan daerah yang menggantung pada dividen. Itu bukan hanya masalah bank; itu masalah publik.

Aktor dalam “kejahatan” ini beragam: manajemen yang lalai, pegawai yang mungkin terikut kultur silat lidah prosedur, oknum debitur yang memanfaatkan celah, dan tentu saja pemilik saham utama—pemerintah daerah—yang duduk sebagai pengawas sekaligus pihak yang paling dirugikan. Di belakang semua itu, ada kepentingan politik lokal yang kadang lebih cepat meraih akses daripada tata kelola yang sehat. Ketika penegakan hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, rasa keadilan publik terkikis, dan reputasi lembaga yang semestinya melindungi kepentingan rakyat menjadi korban.

Regulasi dan praktik juga berdansa tak berirama. OJK telah mengeluarkan pedoman sistem pengendalian internal bagi bank umum—SE OJK No. 35/2017—yang menekankan budaya pengendalian, pemisahan fungsi, dan integritas data. Namun temuan BPK menunjukkan adanya celah dalam implementasi: aturan di atas kertas belum tentu menjadi praktik di lapangan. Perbedaan antara desain dan implementasi inilah yang harus ditutup segera.

Reformasi Bank Sumut harus lebih dari hanya seremoni nota kesepahaman. MoU dengan aparat penegak hukum berguna untuk sinergi, tetapi bila tidak diikuti perubahan struktural—penegakan four-eyes principle, integrasi sistem informasi kredit, sertifikasi kompetensi petugas kredit, dan penindakan tegas terhadap oknum yang bersalah—maka MoU hanya akan menjadi selubung yang cantik di atas masalah yang sama.

Akhirnya, publik perlu pengingat sederhana: bank daerah bukan lumbung janji pemerintahan; ia adalah instrumen pelayanan publik. Ketika instrumen itu sakit, yang dirugikan bukan hanya laporan keuangan, melainkan ruang publik yang membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Reformasi bukan soal menyalahkan satu pihak semata; ia soal membangun kembali mekanisme yang membuat penyalahgunaan tidak lagi mungkin. Seperti tukang kebun yang merapikan taman, perbaikan harus dimulai dari akar—budaya, sistem, dan tanggung jawab berjemaah—bukan hanya menyiram bunga di atas dedaunan yang layu.

Bank Sumut sebenarnya tidak kekurangan modal untuk berubah. Ia punya aset yang tumbuh, jejaring yang mengakar, dan mandat publik yang jelas. Yang hilang justru keberanian untuk menata diri. Sebab jika pembenahan hanya berhenti pada spanduk komitmen dan seremonial penandatanganan MoU, maka yang terjadi hanyalah kota yang terus membangun pagar, tetapi membiarkan pintu belakang tetap terbuka.

Jika tidak ada tindakan tegas—penertiban proses, penyingkiran intervensi, penegakan akuntabilitas—maka negeri ini akan terus menukar masa depan bersama dengan kemenangan semu di laporan tahunan. Kepercayaan publik tidak kembali hanya karena grafik tumbuh; ia pulih ketika orang yakin bahwa keputusan kredit tidak lagi ditentukan oleh kedekatan, tetapi oleh kelayakan.

Perbaikan Bank Sumut bukan hanya soal manajemen. Ia adalah urusan martabat: apakah sebuah lembaga yang didirikan dengan uang rakyat mampu membalas kepercayaan itu dengan integritas. Kini yang ditunggu hanyalah satu hal: reformasi. Agar pintu belakang “permainan” kredit di Bank Sumut tidak lagi lebih lebar daripada pintu depan.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE