Alih-alih memperkuat cadangan pangan dan produksi lokal, anggaran justru digeser ke proyek-proyek tanpa urgensi.
Bayangkan Anda masuk ke sebuah warung sederhana di Medan, memesan sepiring nasi goreng dan segelas teh manis. Saat tagihannya datang, Anda merasa seperti baru membeli tiket konser Coldplay: tidak “worth it”, kata anak sekarang. Begitulah absurditas ekonomi di Sumut hari ini.
Bila inflasi dianalogikan perampok senyap yang mencuri isi dompet rakyat, maka Sumatera Utara di tahun 2025 telah menjadi arena “grand final” sang perampok terbesar. Saat provinsi lain berjuang menahan kenaikan harga, Sumut justru menorehkan “prestasi” kelam: inflasi tertinggi se-Indonesia, menembus 5,32 persen per September 2025.
Ini bukan perangkaan biasa—ia adalah palu godam yang menghantam daya beli, menggerus harapan, dan menyalakan api keresahan di dapur-dapur rakyat kecil. Jika kepala daerah diibaratkan nakhoda, maka Sumut kini adalah kapal yang karam di lautan badai harga. Provinsi yang dulu dijuluki “Tanah Berkah” kini bertekuk lutut di hadapan inflasi. Harga sembako bergerak liar, tak bisa dikontrol.
Data BPS mencatat, Indeks Harga Konsumen Sumut mencapai 111,11—jauh di atas rata-rata nasional 2,65 persen. Kenaikan paling brutal terjadi pada kelompok pangan dan tembakau dengan inflasi 11,38 persen. Cabai merah, beras, bawang, dan daging ayam jadi penyumbang utama. Dalam setahun, harga cabai sempat menyentuh Rp100 ribu per kilogram—harga yang menampar logika ibu-ibu rumah tangga.
Namun di tengah kepanikan publik, manajemen pemerintahan Gubernur Bobby Nasution justru diselimuti riuh politik dan ketidakpastian birokrasi. Lima kepala OPD dicopot tanpa alasan transparan. Gaya “bersih-bersih” yang dipamerkan ke publik justru menimbulkan kesan bahwa loyalitas lebih dihargai ketimbang profesionalisme.
Padahal sinyal bahaya inflasi sudah terang benderang. Sekjen Kemendagri Tomsi Tohir menyebut inflasi di atas lima persen sebagai “lampu merah” tanda kegagalan menjaga harga. Tapi Pemprov Sumut seolah abai. Alih-alih memperkuat koordinasi dan operasi pasar, energi birokrasi justru habis untuk urusan reshuffle dan manuver politik.
Teguran keras Kemendagri datang seperti cambuk. Sumut satu-satunya provinsi di zona merah. Bahkan Papua Pegunungan—dengan segala keterbatasan logistiknya—mampu menahan inflasi di 3,55 persen. “Jangan hanya menunggu mujizat,” sindir Tomsi. Tapi sindiran itu tampaknya tak mengubah realita.
Wajah fiskal Sumut pun makin kelam. APBD 2025 menunjukkan pendapatan daerah turun 10,78 persen, belanja operasi anjlok 18 persen, dan belanja modal menyusut 23,41 persen. Ironisnya, pos belanja tak terduga justru naik 22,64 persen. Alih-alih memperkuat cadangan pangan atau produksi lokal, anggaran justru digeser ke proyek-proyek tanpa urgensi.
Kisah bertambah suram ketika KPK menciduk Kepala Dinas PUPR, Topan Ginting—orang dekat Gubernur Bobby—dalam kasus suap proyek jalan ratusan miliar. Proyek itu bahkan tidak pernah tercantum dalam APBD murni, melainkan muncul lewat pergeseran anggaran tanpa dasar kuat. FITRA menyebut mekanisme fiskal Sumut berubah menjadi “ladang proyek siluman.”
Akibat inflasi 5,32 persen, daya beli masyarakat terjun bebas. Menurut ekonom UISU, Gunawan Benjamin, pertumbuhan pendapatan 4,69 persen tak mampu mengejar lonjakan harga. Setiap kenaikan satu persen harga pangan langsung mengerek angka kemiskinan. Ironisnya, petani tak ikut menikmati—Nilai Tukar Petani stagnan di angka 100,12. Harga cabai tinggi, tapi petani tetap miskin. Yang kaya justru para spekulan dan pedagang besar.
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) pun gagal menjalankan fungsi deteksi dini. Pasar murah digelar berkali-kali, tapi tak menyentuh akar persoalan: distribusi timpang, ketergantungan pasokan luar daerah, dan lemahnya cadangan pangan strategis. Skema kerja sama antarwilayah berhenti di panggung seremoni tanpa hasil nyata.
Kini Sumut memang “berbeda”. Bukan karena inovasi Gubernur Bobby, tapi karena menjadi provinsi dengan inflasi tertinggi dan krisis kepercayaan publik. Pemerintah daerah terjebak dalam rutinitas seremonial—menggelar konferensi pers harian, memoles citra—sementara rakyat menjerit di pasar-pasar kampung dan jantung kota.
Satu-satunya jalan keluar adalah reformasi tata kelola dan keberanian menegakkan akuntabilitas. Bobby Nasution harus berhenti bermain di panggung citra. Ia harus bekerja dengan data, bukan drama ala-ala Korea. Jika tidak, Sumut akan dikenang bukan sebagai Tanah Berkah, melainkan tanah di mana inflasi dan korupsi tumbuh bersama—di tangan gubernur produk cawe-cawe kekuasaan.
Pangkal gelar itu, provinsi ini sudah layak mengganti maskotnya dari “Kolaborasi Sumut Berkah” menjadi “Kolaborasi Sumut Derita”. Tempat di mana harga naik, harapan terjungkal, dan kendali kekuasaan berjalan tanpa arah, tanpa kontrol: tanpa rasa malu.
Selamat datang di Sumut, Bung. Di sini inflasi jadi lambang keniscayaan baru, setelah derita rakyat resmi “dikolaborasikan” oleh pemerintahan gubernur muda, kebanggaan ras “pemuja”: Bobby Afif Nasution.