Solusi banjir Medan tak bisa lagi bersifat tambal sulam. Dibutuhkan pendekatan sistemik dan lintas sektor.
Setiap kali hujan deras mengguyur Kota Medan, warga bersiap dengan insting yang telah terasah selama puluhan tahun: mengangkat barang ke tempat tinggi, mematikan listrik, dan bersiap menghadapi genangan yang tak kunjung usai. Banjir bukan hanya soal bencana alam di Medan—ia adalah warisan sejarah, dilema tata kota, dan cermin dari kegagalan struktural lintas wali kota.
Medan, kota metropolitan terbesar di luar Jawa, telah bergulat dengan banjir sejak era kolonial. Arsip Belanda mencatat genangan di kawasan Kesawan dan Sungai Deli sejak awal abad ke-20. Namun, seiring pertumbuhan kota yang pesat, banjir tak hanya bertahan—ia membesar. Urbanisasi tanpa kendali, alih fungsi lahan, dan minimnya investasi infrastruktur drainase menjadikan banjir sebagai keniscayaan tahunan.
Pemerintah Kota Medan silih berganti—dari era kolonial, Orde Baru, Reformasi, hingga kini era Rico Waas—namun banjir tetap menjadi momok abadi. Setiap rezim menjanjikan solusi, tapi tak satu pun benar-benar mengubah nasib kota ini. Di masa Bobby Nasution, warga sempat berharap masalah banjir tuntas. Ia menantu Presiden, anggaran pusat bakal melimpah ke Medan. Proyek normalisasi sungai dan revitalisasi drainase pun digencarkan, namun kenyataannya, hampir seluruh Medan tetap dikepung air.
Ruas-ruas utama seperti Jl. Dr. Mansyur, Jl. Sei Batanghari, Jl. KH Wahid Hasyim, Jl. Letda Sudjono, hingga kawasan Ringroad terendam banjir. Padahal, sejumlah titik telah dilengkapi parit u-dict dan kolam retensi. Hingga Minggu (12/10/2025), kawasan sekitar Kampus USU tetap tergenang. Program pengendalian banjir yang menjadi prioritas utama Bobby berakhir menjadi “warisan” tak tuntas—mencerminkan kegagalan berulang dari kota yang tak kunjung belajar dari genangan.
Salah satu akar masalah adalah tata ruang yang tak berpihak pada ekologi. Kawasan resapan air seperti hutan kota dan rawa telah berubah menjadi perumahan, ruko, dan pusat bisnis. Sungai-sungai yang dulunya lebar dan alami kini menyempit, terjepit beton dan bangunan liar. Drainase kota, sebagian besar warisan kolonial, tak mampu menampung debit air yang meningkat akibat perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menunjukkan bahwa Kecamatan Medan Maimun, Medan Johor, dan Medan Sunggal adalah wilayah paling rawan banjir. Genangan bisa mencapai 1 meter lebih, dengan durasi hingga 12 jam. Dampaknya bukan hanya kerugian material, tapi juga gangguan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi warga.
Solusi banjir Medan tak bisa lagi bersifat tambal sulam, melainkan harus sistemik dan lintas sektor. Penataan ulang tata ruang menjadi kunci, dengan merevisi RTRW agar berpihak pada ekologi dan mitigasi risiko. Kawasan resapan harus dipulihkan dan pembangunan di zona rawan dihentikan. Revitalisasi sungai serta drainase perlu mengedepankan solusi berbasis alam, seperti restorasi vegetasi riparian, taman hujan, dan waduk mikro. Partisipasi warga juga penting melalui edukasi lingkungan dan gotong royong. Terakhir, transparansi anggaran dan audit publik wajib dijaga agar proyek penanggulangan banjir benar-benar efektif dan bebas dari korupsi.
Dilema banjir Medan bukan hanya soal air yang meluap, tapi tentang bagaimana kota ini memandang masa depannya. Apakah Medan akan terus tenggelam dalam genangan sejarah, atau bangkit dengan visi tata kota yang berkelanjutan? Jawabannya ada pada keberanian politik, ketegasan kebijakan, dan partisipasi warga. Rico Waas bukan wali kota pertama yang menghadapi banjir, tapi ia bisa menjadi yang terakhir jika berani memutus siklus kegagalan akibat ambisi politik wali kota pendahulunya; Bobby Nasution, ke kursi Gubernur.