Scroll Untuk Membaca

Editorial

“Everybody” Gubernur Flamboyan

“Everybody” Gubernur Flamboyan
Kecil Besar
14px

Bobby lupa: Aceh bukan provinsi “biasa”. Perang Aceh melampaui usia dan pikirannya yang masih bau kencur.

Pagi 15 Agustus 2005 di Helsinki, dunia menyaksikan “penemuan” sejarah Aceh mutakhir: penandatanganan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Setelah hampir tiga dekade konflik bersenjata menyalak, kedua pihak sepakat menutup masa kelam dengan secercah harapan baru. Ketua tim perunding, Hamid Awaluddin, kala itu berkata: garis pemisah antara “kami” dan “mereka” harus dihapus demi hidup bersama dalam satu kapal besar bernama NKRI.

Dua puluh tahun kemudian, semangat itu kembali terusik. Dari seberang perbatasan Aceh–Sumut, seorang gubernur muda bernama Bobby Nasution menyalakan lagi narasi sakral “kami” dan “mereka” dalam versi lokal: menghentikan truk berpelat Aceh “BL” atas nama penegakan pajak daerah. Hamid Awaluddin—tokoh yang dulu ikut “berkeringat” mendamaikan Aceh—tak kuasa menahan komentar. “Gubernur Bobby gagal paham memaknai posisinya dan aturan main yang berlaku di negeri ini,” tulisnya dalam kolom opini. Di telinga orang Aceh, langkah administratif itu terdengar seperti desing peluru lama yang memantul dari sejarah masa kini.

Publik menilai gelanggang politik Gubernur Bobby hari ini—yang sibuk mengurusi pelat truk di jalan raya—seolah menggambarkan di sanalah letak kemakmuran rakyat Sumut. Sementara di provinsi tetangga, seorang mantan panglima GAM bersikap tenang menyikapi langkah itu. Ia menjaga martabat daerahnya yang dulu dibasuh darah, air mata, dan doa. Dua gaya kepemimpinan lahir dari dua dunia berbeda: yang satu tumbuh di ruang berpendingin kekuasaan mertua, yang satu lagi ditempa di hutan perang dan meja perundingan damai.

Muzakir Manaf, atau Mualem, bukan hanya mantan komandan. Ia simbol dari transisi yang rapuh tapi berharga: dari senjata ke suara rakyat, dari konflik ke konsensus. Ia tahu, perdamaian bukan cuma perjanjian di atas kertas, melainkan upaya menjaga luka lama agar tak bernanah kembali.

Bobby Nasution—menantu presiden sekaligus bintang muda politik yang tumbuh “dicangkok” secepat kilat—mempertunjukkan gebrakan yang justru mengubur simpati. Razia pelat BL mungkin lahir dari niat fiskal yang sah, meniru cara gubernur tetangga: Riau. Tapi di ruang publik, aksi itu berubah menjadi panggung ego kekuasaan. Viral, memang. Namun sekaligus membangkitkan emosi lama antardaerah—bara kecil yang ditiup oleh nafsu tampil flamboyan.

Masih segar di ingatan bagaimana Presiden Prabowo turun tangan meredakan sengketa empat pulau yang diklaim Sumatera Utara. Bobby saat itu sempat mencoba “mengolaborasikan” pulau-pulau yang secara historis dan hukum milik Aceh. Netizen pun meradang. Konflik di media sosial meningkat, hingga menyeret nama istrinya, Kahiyang Ayu.

Beruntung Presiden Prabowo cepat mengembalikan pulau-pulau itu ke Aceh—sebuah keputusan yang meneguhkan wilayah sekaligus martabat. Dalam konteks itulah, langkah Bobby terhadap pelat BL terasa ganjil sekaligus menantang. Di saat luka baru saja dijahit oleh tangan presiden, ia justru menarik kembali benangnya—dengan tangan dingin dan sorotan kamera media yang jembar.

Bobby lupa: Aceh bukan provinsi “biasa”. Perang Aceh melampaui usia dan pikirannya yang masih bau kencur. Aceh adalah wilayah dengan memori berjemaah tentang darah, martabat, dan harga diri. Jangankan seorang Bobby, negara pun—jika dirasa tak adil—“diperangi” oleh Aceh. Pelat BL bukan melulu soal identitas kendaraan, melainkan simbol asal-usul dan kehormatan. Maka ketika Bobby menegakkan aturan dengan logika pajak, rakyat Aceh membacanya dengan logika harga diri.

Kita hidup di zaman ketika satu video bisa menggantikan pidato berjam-jam. Dan di sini, tampaknya, menantu presiden itu ingin memamerkan ketegasan, tapi lupa seni diplomasi. Ia menang di sorotan kamera “media Bapak”, namun kalah dalam tafsir sejarah. Mualem, dengan segala keterbatasannya, paham bahwa politik Aceh adalah permainan figuratif dan empati—permainan yang tak bisa dimenangkan dengan seragam apalagi pluit di jalan raya.

Masalah ini bukan soal siapa yang benar secara administratif, melainkan siapa yang mampu membaca trauma sejarah dan mendinginkan bara sebelum menjalar. Kepemimpinan bukan perkara selfie dan candid di jalan raya, melainkan kesabaran membaca luka masa lalu dan menenunnya dengan empati.

Jika kita ingin perdamaian Helsinki tetap hidup, para pemimpin seperti Bobby harus belajar menahan diri. Sebab mempertahankan damai jauh lebih sulit daripada menandatanganinya. Jangan biarkan pelat nomor menjadi pemantik perang lama yang membunuh akal sehat.

Dan, “Everybody Gubernur Flamboyan” ini bukan pujian, melainkan satire—tentang ambisi seorang gubernur produk “cawe-cawe” istana, yang ingin menjadi segalanya tapi kehilangan esensi kepemimpinan. Sebab kekuasaan sejati bukan soal memungut pajak dan ugal-ugalan “menggeser” anggaran daerah, melainkan menjaga nalar agar seorang gubernur tak berubah menjadi dungu di mata rakyatnya!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE