Indonesia memiliki lebih dari 3.000 titik perlintasan sebidang, dan lebih dari separuhnya tidak dijaga.
Setiap dentuman roda baja beradu di atas rel seharusnya jadi pertanda kemajuan. Tapi di banyak titik perlintasan kereta api di Indonesia, terutama yang tak berpintu dan tanpa “ning nong” alarm peringatan, bunyi itu justru berubah menjadi suara maut.
Kita kembali berduka. Zailani Damanik, 32 tahun, seorang pemuda tuna wicara, Sabtu (21/6/25) tewas ditabrak kereta api di perlintasan Simpang Durian, Batubara, Sumatera Utara. Ia bukan korban pertama, dan—jika situasi terus dibiarkan—bukan yang terakhir. Zailani menyusul Timbul Sihombing dan Tomy Sihombing, dua nama lain yang baru saja tercatat dalam daftar panjang kematian sia-sia di rel-rel bisu tanpa penjaga.
Mari jujur, berapa banyak lagi nyawa yang harus hilang hanya karena palang pintu tak kunjung dibangun? Kita seperti bangsa yang tega menggadaikan keselamatan warganya hanya karena keterlambatan, ketidaksigapan, dan ketidakpedulian.
Indonesia memiliki lebih dari 3.000 titik perlintasan sebidang, dan lebih dari separuhnya tidak dijaga. Ini bukan isu baru. Setiap tahun, nyawa melayang akibat sistem yang setengah hati melindungi warganya. Mirisnya, solusi sebenarnya sudah jelas: bangun palang pintu otomatis, aktifkan alarm peringatan, pasang CCTV dan rambu yang memadai. Tapi mengapa masih selalu terlambat setelah mayat tergeletak?
Zailani, dengan keterbatasannya, bukan hanya jadi korban tabrakan. Ia juga jadi korban dari sistem yang abai pada warga marginal. Fakta bahwa ia harus menyeberang mengikuti kendaraan lain di perlintasan tak berpintu adalah bukti bahwa nyawa manusia di negeri ini bisa kalah oleh prioritas anggaran yang salah arah.
Peristiwa tragis di Batubara hanya satu dari ratusan tragedi. Di Cirebon, seorang ibu dan dua anaknya tewas tertabrak kereta saat melintas di jalur tanpa palang. Di Bekasi, seorang pemuda terseret kereta karena menyangka aman saat sepi. Di semua cerita itu, selalu ada kesamaan: ketiadaan sistem peringatan yang layak dan ketidakhadiran negara ketika rakyatnya membutuhkan.
Sudah cukup. Editorial ini menyerukan langkah nyata: pemerintah pusat dan daerah harus segera mengidentifikasi semua titik perlintasan tak aman dan mempercepat pembangunan palang pintu otomatis. Tidak ada alasan. Tidak ada toleransi untuk itu.
Kementerian Perhubungan, PT KAI, dan pemda setempat harus duduk satu meja, bukan lagi untuk membahas, tapi untuk mengeksekusi. Dana pembangunan harus dialihkan jika perlu. Setiap palang yang dibangun adalah pagar kehidupan. Setiap sirine yang dinyalakan adalah penyelamat masa depan.
Tapi, tanggung jawab ini tak hanya milik negara. Masyarakat pun harus ikut andil dan sadar. Jangan menerobos rel. Jangan memaksa lewat ketika alarm berbunyi. Jangan menunggu korban berikutnya baru berubah.
Sebab saat “ning nong” tak terdengar, bukan berarti kereta tak datang. Dan bila kita tetap membiarkan bunyi itu absen, bersiaplah: hari ini Zailani, besok bisa jadi tetangga kita, kolega kita, atau kerabat kita yang akan menyusul Zailani di pintu tanpa “ning nong”. Begitu tak berharganya nyawa itu!