Satu persatu keluarga diasuransikan, diawasi, diatur timeliness-nya, lalu “dihabisi”, dikirim ke liang lahat.
Ada banyak cara mencintai keluarga. Ada yang membelikan rumah, ada pula yang menyekolahkan hingga ke universitas ternama. Tapi ada juga—rupanya—yang mencintai dengan cara mengasuransikan nyawa mereka satu per satu, lalu menggiringnya ke liang kubur. Lebih menguntungkan dari investasi saham, lebih sunyi dari perampokan bersenjata. Selamat datang di babak baru kejahatan rumah tangga: Investasi Jiwa ala bibi tercinta.
Kisah Ripin, remaja malang yang ditemukan kaku di parit kebun sawit Emplasmen Kualanamu, boleh jadi awal dari akhir sandiwara panjang yang sudah lama dipentaskan. Dari sini, terungkaplah rentetan cerita lama yang tersimpan rapi diingatan keluarga. Sebelum Ripin tewas, kata pihak keluarga, ada ayahnya—abang kandung sang bibi—yang meninggal mendadak, mulut berbusa, tepat di depan wanita yang kini kembali disorot. Bibi yang “sigap” mengurus asuransi dan konon menikmati hasilnya.
Beberapa tahun kemudian, giliran abang Ripin. Meninggal di sofa setelah menyantap mie instan. Lagi-lagi di depan bibi, di rumah bibi. Lagi-lagi asuransi cair. Lagi-lagi uangnya “hilang” bersama nyawa almarhum. Kini, Ripin yang menjadi korban. Tiga polis asuransi atas namanya senilai Rp4,5 miliar sudah disiapkan. Bukan untuk pendidikan, bukan untuk masa depan, melainkan—dugaan kuatnya—untuk masa wafat.
Apakah ini sekadar kebetulan atau skenario? Jika benar ini hanya rangkaian takdir tragis, maka kita harus mulai bertanya: kenapa takdir begitu rajin menghampiri keluarga yang diasuransikan oleh satu orang yang sama? Bahkan Rudi, abang Ripin yang masih hidup, juga diam-diam sudah diasuransikan. Jika kasus Ripin tak terungkap, mungkin Rudi hanya tinggal menunggu waktu dan mie instan berikutnya.
Yang lebih mengkhawatirkan dari kematian demi kematian ini adalah kelambanan aparat. Polisi sejatinya bergerak cepat karena menurut pengacara Ripin, Mardi Sijabat, setidaknya dua alat bukti sudah terpenuhi. Bahkan, jika benar ada motif finansial di balik semua kematian yang bukan “kebetulan” ini, seharusnya penyidik sudah mengendusnya sejak awal.
Kini, anggota Komisi A DPRD Sumut, Budi Sumalim, ikut menyuarakan kegelisahannya ke ruang publik. Tapi suara itu akan menjadi gema di lorong sunyi jika penegakan hukum tetap lemas. Kita butuh penyidik, bukan pencerita ulang versi bibi. Kita butuh bukti, bukan belasungkawa.
Kematian Ripin bukan hanya soal seorang anak yang kehilangan masa depan, melainkan juga tentang sebuah keluarga yang dijadikan ladang ekonomi oleh orang dalamnya sendiri. Bila seseorang bisa menjelma jadi “malaikat” pencabut nyawa dengan pena polis dan senyuman manis, maka hukum harus lebih tegas dan tajam menebas kejahatan psikopat ini.
Ini bukan hanya kasus pembunuhan. Ini potret kriminalitas domestik yang terencana, elegan, dan nyaris tanpa darah. Jika aparat gagal mengungkapnya, kita patut bertanya, siapa sebenarnya yang layak dikuburkan? Jenazah Ripin, atau integritas hukum kita?
Dan bila kematian seorang anak muda tak bisa menggugah penegak hukum, artinya kita sedang membuka jalan bagi generasi yang tumbuh dalam rasa takut—bukan karena penjahat di luar, tapi karena diamnya hukum terhadap kejahatan yang menyusup senyap ke dalam rumah kita sendiri.