Editorial

Jingle “Zonk” Ala KPK Di Dakwaan Topan

Jingle “Zonk” Ala KPK Di Dakwaan Topan
Kecil Besar
14px

ICW beraksi di depan KPK, mengingatkan perintah hakim memeriksa Bobby; menuding KPK takut.

Seperti penonton kuis yang dijanjikan hadiah spektakuler, namun ketika kotak dibuka hanya menemukan secarik kertas bertuliskan “zonk”, begitulah rasa yang ditinggalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara. Setelah gembar-gembor akan memeriksa sirkel Gubernur Sumut Bobby Nasution dan Topan Ginting, mantan Kadis PUPR Sumut, sidang perdana di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (19/11), justru tak menghadirkan saksi-saksi itu. Publik menunggu babak “misteri kotak”, KPK malah menutupnya dengan ketidakjelasan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kasus bermula dari operasi tangkap tangan KPK pada 26 Juni 2025. Lima orang tersangka: Kadis PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting, Kepala UPTD Rasuli Efendi Siregar, PPK Satker PJN Heliyanto, Direktur PT Dalihan Natolu Group Muhammad Akhirun Piliang, dan Direktur PT Rona Na Mora Muhammad Rayhan Dulasmi. Dakwaan menyebut Topan dan Rasuli menerima masing-masing Rp50 juta, janji commitment fee 5 persen (4 persen untuk Topan, 1 persen untuk Rasuli) agar dua perusahaan memenangkan tender enam proyek jalan senilai Rp231,8 miliar. Pergeseran anggaran diusulkan 12 Maret 2025 dan disetujui sehari kemudian tanpa dokumen perencanaan lengkap, membuat majelis hakim mempertanyakan Gubernur memprosesnya.

Ketika sorotan publik tertuju pada lingkaran kekuasaan, KPK memberi sinyal akan memeriksa Rektor USU Muryanto Amin. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengakui dia “circle” Bobby Nasution dan Topan Ginting. KPK memanggilnya untuk menggali pengetahuan soal pengadaan jalan, namun ia mangkir. KPK berjanji memanggil lagi, berdalih masa penahanan OTT sempit.

Situasi serupa menimpa Gubernur Bobby Nasution. Publik menuntut secara tegas kejelasan penuh karena namanya tercantum sebagai penandatangan pergub pergeseran anggaran. Majelis Hakim Tipikor Medan menyatakan pemanggilan gubernur diputuskan berdasarkan fakta persidangan. Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia melaporkan Kasatgas KPK ke Dewas karena diduga menghambat pemanggilan. ICW beraksi di depan KPK, mengingatkan perintah hakim memeriksa Bobby dan menuding KPK takut memanggil gubernur.

Bagaimana respons KPK? Alih alih menjalankan perintah hakim, KPK berkelit. Asep Guntur Rahayu mengatakan KPK menunggu persidangan selesai sebelum memutuskan memanggil Bobby. Menurutnya, laporan jaksa baru akan dibuat setelah ada putusan, sehingga pemanggilan gubernur belum perlu. Jurubicara KPK Budi Prasetyo juga menegaskan proses penuntutan berjalan sesuai prosedur dan penyidikan sudah lengkap. Seolah olah memeriksa pejabat daerah adalah opsi, bukan kewajiban hukum.

Puncak “zonk” terjadi 19 November 2025. Usai sidang perdana Topan Ginting, JPU KPK Eko Wahyu menyebut KPK menyiapkan 30–40 saksi yang akan diseleksi sesuai kebutuhan pembuktian. Ditanya soal Bobby Nasution dan Rektor USU, ia menjawab nama keduanya tak ada di berkas penyidik. Mereka tak masuk daftar saksi, bertolak belakang dengan janji memanggil lagi dan membuka peluang menghadirkan Bobby sebelumnya.

Seperti kotak hadiah mahal yang kita beli, isinya cuma secarik kertas bertuliskan “tidak ada”. Tarik-ulur KPK mengundang tanya: jika rektor yang disebut “circle” penting menggali pergeseran anggaran, mengapa namanya hilang dari berkas? Bila hakim mengisyaratkan pemanggilan gubernur, mengapa KPK menunggu sidang usai? Kritik MAKI, ICW, dan alumni USU menegaskan KPK kian pengecut dan krisis kepercayaan.

Di sinilah ironi KPK hari ini: lembaga yang dibentuk membersihkan korupsi justru kehilangan nyali saat menyelidiki lingkaran kekuasaan. Padahal persidangan menunjukkan proyek ratusan miliar disisipkan tanpa perencanaan, dijual ke kontraktor tertentu lewat commitment fee. Fakta itu seharusnya dipakai menelusuri decision maker, bukan menunggu putusan pengadilan yang bisa saja tertutup, sementara rektor dan gubernur dihapus dari daftar saksi—zonk sempurna bagi publik; jargon gaduh tanpa isi.

Kita mengajak publik mengingat satu hal: ketidakadilan kerap bersembunyi rapi di balik kata “prosedur”. Ketika lembaga antikorupsi memilih bungkam di depan lingkaran kuasa, pemberantasan korupsi berubah menjadi permainan hadiah hiburan, bukan keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Janji KPK menghadirkan Bobby di kasus Topan terbukti hanya pepesan kosong—jingle “zonk” yang akan menghantui catatan sejarah kelam perang melawan korupsi di Indonesia. Apakah Anda sudah korupsi hari ini?

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE