Editorial

Kahiyang Di Pusaran Korupsi MFF 2024

Kahiyang Di Pusaran Korupsi MFF 2024
Kecil Besar
14px

Retorika Bobby memuji Kahiyang bahwa MFF adalah “senjata utama kesejahteraan” berubah menjadi kunci pembuka pintu penyimpangan.

Ketika catwalk Medan Fashion Festival (MFF) 2024 dimulai, Medan menyambut gegap gempita: gemerlap sorot lampu menyinari gaun lokal dan semangat para desainer muda. Wali Kota Bobby Nasution memuji langkah Ketua Dekranasda, Sang Istri Kahiyang Ayu—“fashion bisa jadi senjata utama untuk mensejahterakan warga Medan,” ujarnya. Itu citra penuh harapan tentang ekonomi kreatif. Namun di balik kilau runway, terlihat kenyataan lebih suram: acara yang seharusnya menguatkan kreativitas dan UMKM justru berubah menjadi ajang korupsi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Masalahnya memuncak ketika Kejaksaan Negeri Medan menetapkan tiga tersangka dugaan korupsi kegiatan MFF 2024: Kepala Dinas Koperasi UKM Perindustrian & Perdagangan Kota Medan (diskop UKM), seorang Pejabat Pembuat Komitmen, dan direktur rekanan pelaksana kegiatan. Dengan nilai kontrak mencapai sekitar Rp 4,85 miliar dan kerugian negara ditaksir Rp 1,13 miliar. Yang ironi: semula MFF diposisikan sebagai platform pemberdayaan UMKM—kini anggarannya justru dijadikan bancakan. Mereka, para tersangka itu, adalah “circle” nya Bobby Nasution. Di sini, kita patut acungkan jempol untuk Kejari Medan.

Kenapa bisa terjadi? Penyebabnya berlapis: Pertama prosedur pengadaan lemah. Pelaksana ditunjuk tanpa kualifikasi teknis dan pembayaran ke sub-vendor tidak sesuai aturan— festival jadi celah praktik administratif abu-abu. Kedua, prioritas pada citra politik, bukan pemberdayaan. Retorika “sejahterakan masyarakat” tidak diikuti penguatan mekanisme, sehingga peluang penyalahgunaan terbuka lebar. Ketiga, supervisi dan akuntabilitas lemah. Pengawasan internal maupun eksternal tidak efektif; dana puluhan juta hingga miliaran rupiah bisa menyimpang tanpa deteksi dini.

Siapa aktor dan kepentingannya? Tersangka yang sudah ditetapkan antara lain Benny Iskandar Nasution (Kadiskop UKM Perindag), Erwin Saleh (PPK), dan MH sebagai rekanan proyek. Ada birokrat yang memegang kuasa mengalihkan anggaran, ada pihak swasta sebagai pelaksana, dan ada figur publik yang rajin mengumbar retorika “pemberdayaan UMKM”.

Benny dan Erwin dikenal berada dalam lingkar kekuasaan Bobby. Karena itu, kepentingannya tidak melulu soal “festival fashion”, tetapi soal aliran anggaran publik yang bisa memperkuat jaringan kekuasaan, membangun pencitraan politik, dan membuka akses sumber daya—terutama ketika kontrol lemah.

Retorika Bobby di hadapan Kahiyang bahwa MFF adalah “senjata utama kesejahteraan” akhirnya menjadi senjata bermata dua: alat peluncuran program sekaligus kunci pembuka pintu korupsi. Dalam konstelasi ini muncul pertanyaan: di mana posisi Kahiyang Ayu sebagai Ketua Dekranasda Kota Medan yang memprakarsai MFF? Jika acara di bawah bendera Kahiyang—kemudian muncul indikasi korupsi di belakangnya—maka publik menuntut kapan Kahiyang diperiksa. Apakah cukup ikut bertanggung jawab secara moral atau institusional, atau malah menjadi figur pelindung program yang kemudian dilubangi celah penyalahgunaan? Jika indeferensi terjadi, maka bukan hanya dana yang bocor, tapi kepercayaan publik tergerus.

Publik mendukung penuh penegakan hukum yang memeriksa setiap pihak tanpa kecuali, termasuk Kahiyang. Jaksa tak boleh gentar—mereka harus berani menelusuri kasus-kasus lain seperti proyek Lapangan Merdeka, lampu pocong, Islamic Center, Taman Kebun Bunga, rumah susun Labuhan, UMKM USU, dan berbagai proyek lain yang selama ini diduga menjadi bancakan lingkaran Bobby. Jika retorika pembangunan kreatif dijadikan perisai bagi praktik koruptif, yang runtuh bukan hanya satu proyek, tetapi makna publik dari program yang semula ingin dibangun sebagai kebaikan.

Pemerintah Kota Medan harus mengaudit ulang seluruh program bergaya festival yang memakai jargon pemberdayaan. Komisi pengawas, inspektorat, dan aparat penegak hukum wajib menelusuri siapa saja yang bekerja di balik layar. Figur publik yang terlibat—baik secara formal maupun informal—juga harus mempertanggungjawabkan nama dan jabatan mereka, bukan sekadar menikmati tepuk tangan di atas panggung.

Akhirnya, retorika Bobby tentang “fashion sebagai senjata kesejahteraan” hanya sah jika benar-benar diarahkan untuk memperkuat daya saing rakyat kecil, bukan mempercantik posisi elit birokrasi: Ketua Dekranasda Medan. Jika tidak, runway itu berubah menjadi karpet merah bagi penyalahgunaan—dan kostum yang dikenakan pada “dagelan” MFF hanyalah kebohongan yang berlindung di balik wajah pasangan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu, putri mantan presiden Jokowi.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE