Kran dana bencana ditutup, BTT surut, negara kehilangan otot; hemat demi aspal dibayar ratusan nyawa dan kehancuran infrastruktur.
Di kampung-kampung, orang tua mengajarkan satu “dalil” sederhana: jangan menghabiskan gabah di lumbung. Sisakan cadangan, sebab musim kering dan banjir bandang tak mau berunding dengan manusia. Pemerintahan yang sehat mestinya tunduk pada logika sesederhana itu. Tapi, Pemerintahan Sumatera Utara di bawah Bobby Nasution memilih jalan lain.
Di tengah banjir bandang dan longsor yang menewaskan lebih dari 300 orang, melukai ratusan warga, dan memaksa puluhan ribu mengungsi, Bobby muncul ke publik membawa angka kerugian nyaris Rp9,98 triliun. Kerusakan itu meliputi jalan nasional dan provinsi, irigasi, lahan pertanian, rumah, sekolah, fasilitas kesehatan, dan rumah ibadah. Angka-angka itu tertata rapi di kertas konferensi pers; di baliknya ada anak yang kehilangan orang tua, petani yang sawahnya luluh lantak, guru yang tak lagi punya ruang kelas.
Ironinya, bencana terbesar dalam satu dekade ini datang setelah lumbung dana darurat dipreteli pelan-pelan. Data APBD yang diurai peneliti FITRA Sumut, Elfenda Ananda, menunjukkan Belanja Tidak Terduga yang pada masa Pj Gubernur Agus Fatoni sempat dinaikkan hingga Rp843,1 miliar, dipangkas menjadi hanya Rp98,3 miliar dalam Perubahan APBD 2025. Pemangkasan berlanjut pada APBD 2026 yang hanya menyisakan Rp70 miliar. Dengan total belanja daerah sekitar Rp12,5 triliun, proporsi dana darurat tinggal 0,8 persen, jauh di bawah standar 1,5–5 persen bagi daerah rawan bencana.
Di hadapan publik, pemotongan ini dibungkus narasi efisiensi, sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja APBN dan APBD. Namun kalkulus politik anggaran tidak sesederhana mematuhi seruan penghematan. Pemerintah daerah tetap punya ruang memilih: pos mana yang dikencangkan, pos mana yang dilindungi. Di Sumatera Utara, pilihan itu jatuh pada dana bencana sebagai korban rasionalisasi, sementara belanja jalan dan konstruksi justru melonjak.
Di titik inilah banjir bertemu perkara korupsi jalan. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting dalam operasi tangkap tangan proyek jalan pada Juni 2025. Di pengadilan Tipikor, jaksa memaparkan bagaimana proyek jalan bernilai ratusan miliar diusulkan lewat perubahan APBD meski dokumen teknis belum lengkap dan urgensinya dipertanyakan. Topan bukan pejabat yang datang dari ruang hampa; ia orang kepercayaan dan “bestie” nya Bobby sejak di Pemkot Medan, kemudian dilantik sebagai Kadis PUPR Sumut.
Hubungan personal itu tidak otomatis membuktikan keterlibatan pidana sang gubernur. Namun pergeseran anggaran yang berulang, sebagian mengalir ke proyek jalan, membuat kebijakan fiskal tak lagi bisa dipandang sebagai soal teknis. Sidang korupsi jalan bahkan mencatat, majelis hakim sedang mengkaji dugaan _mens rea_ di balik pergeseran APBD 2025 yang dilakukan Gubernur Bobby. Politik anggaran resmi masuk ke dalam berkas perkara.
Di lapangan, konsekuensi pilihan anggaran terasa telanjang. Saat hujan ekstrem yang diperingatkan BMKG beberapa hari sebelum bencana datang, BPBD dan pemkab gagap menggelar posko, kekurangan perahu karet dan terlambat menyalurkan logistik. Beberapa daerah memakai dana talangan sambil menunggu bantuan provinsi dan pusat. Di titik longsor dan jembatan putus, warga menunggu negara yang tak kunjung hadir.
Inilah inti persoalan kalkulus politik Bobby: ketika kran dana bencana ditutup rapat dan “longsor” di bawah ambang kepantasan, negara kehilangan otot untuk bergerak cepat. Penghematan di atas kertas berubah menjadi biaya sosial yang jauh lebih mahal: ratusan nyawa hilang, kepercayaan publik runtuh, dan kerusakan infrastruktur yang justru menuntut belanja berlipat di masa depan.
Editorial ini tidak bermaksud menggantikan tugas penyidik dan hakim. Namun publik berhak menagih pertanggungjawaban politik. Mengapa pos bencana menjadi target pemangkasan, padahal Sumut punya sejarah purba tentang banjir dan longsor? Mengapa peringatan BMKG dan tren krisis iklim tidak tercermin dalam prioritas anggaran? Dan mengapa sampai hari ini, KPK masih ragu menghadirkan gubernur sebagai saksi kunci untuk menjelaskan filosofi di balik pergeseran anggaran yang ia tanda tangani?
Banjir akan surut, longsor akan berhenti, tetapi jejak pilihan politik anggaran akan tinggal di arsip APBD dan ingatan para korban bencana mematikan ini. Bila kalkulus politik Bobby terus menempatkan aspal di atas nyawa, Sumatera Utara akan terus menghitung kerugian setiap musim hujan sementara lumbung dana bencana dibiarkan kosong demi kolusi dan korupsi yang kian menjadi-jadi.












