Scroll Untuk Membaca

Editorial

“Kamera” Inspektorat Di Jantung Kampus USU

“Kamera” Inspektorat Di Jantung Kampus USU
Kecil Besar
14px

Kampus adalah rumah ilmu yang menerima perbedaan argumen, bukan arena tukar-menukar kepentingan.

Ada momen ketika isu di kampus “menguap” dan harus dilipat menjadi berkas terbuka di bawah lampu tajam pengawas. Itulah yang terjadi di Universitas Sumatera Utara: Tim Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi turun ke Medan memeriksa—secara menyeluruh—serangkaian dugaan penyimpangan yang mengitari proses pemilihan rektor dan urusan anggaran kampus. Langkah ini bukan hanya soal kunjungan formal; ia adalah tes legitimasi bagi institusi yang mengaku menjadi benteng ilmu.

Catatan surat resmi dan daftar dokumen yang diminta—dari notulensi senat hingga hasil audit BPK, kontrak proyek, daftar aset, sampai bukti dugaan pelanggaran integritas akademik—mengindikasikan bahwa problemnya bersifat struktural, bukan insidental. Pemeriksaan 13–18 Oktober ini dipicu oleh pengaduan alumni dan forum penyelamat kampus; ia terjadi setelah beredarnya foto-foto bilik suara dan tuduhan intervensi yang merusak asas kerahasiaan dan kebebasan akademik. Jika terbukti, ini bukan sekadar aib personal. Ini adalah kegagalan tata kelola yang memakan reputasi berjemaah.

Kita tak sedang membahas moralitas moral semata—melainkan kecenderungan sistemik yang berulang di kampus-kampus negeri. Indonesia punya daftar preseden yang memperihatinkan: kasus-kasus rektor yang berujung pidana karena suap penerimaan mahasiswa atau korupsi proyek kampus menunjukkan bagaimana celah pengawasan dan konflik kepentingan bisa menjelma menjadi kejahatan publik. Contoh jelasnya adalah kasus mantan rektor Universitas Lampung yang berujung tuntutan dan vonis dalam perkara suap penerimaan mahasiswa; preseden semacam ini harus menjadi pelajaran, bukan bekas pecut yang diabaikan.

Analisisnya lugas: pertama, mekanisme seleksi yang tertutup memberi ruang bagi perdagangan pengaruh; kedua, kontrol internal yang lemah—termasuk tidak adanya publikasi notulensi atau audit terbuka—menyuburkan opasitas; ketiga, proyek-proyek bisnis kampus yang tidak transparan membuka pintu konflik kepentingan. Kombinasi ketiganya menghasilkan lingkungan di mana suara akademik dapat diperdagangkan dan integritas lembaga terkikis. Tidak cukup menunda pemilihan; yang diperlukan adalah pembenahan prosedural.

Solusi praktis dan tak berbasa-basi harus segera dijalankan. Pertama, semua dokumen proses penjaringan, penyaringan, dan pemungutan harus dipublikasikan—minimal kepada pemangku kepentingan kampus dan auditor independen—sebagai prasyarat menuju pemilihan ulang. Kedua, peraturannya perlu direvisi: aturan yang memberi ruang intervensi eksternal harus diperketat agar otonomi akademik bukan sekadar jargon. Ketiga, bila ada indikasi pelanggaran pidana, aparat penegak hukum harus dipanggil tanpa kompromi untuk menegakkan efek jera. Keempat, pembenahan manajemen proyek dan aset kampus harus disertai audit forensik yang hasilnya dipublikasikan.

Pada akhirnya, pemeriksaan Inspektorat adalah kesempatan untuk menegakkan moral institusi. Publik pantas menuntut lebih dari sekadar teriakan retorika perbaikan; kampus harus kembali menjadi rumah ilmu yang menerima perbedaan argumen, bukan arena tukar-menukar kepentingan. Bila negara menundukkan universitas pada prinsip transparansi dan hukum—bukan pada kepentingan individu—maka marwah akademik bisa diselamatkan. Jika tidak, yang tersisa hanyalah legitimasi semu yang mudah terkikis oleh korupsi tipis-tipis; menukar foto di bilik suara dengan uang dan jabatan.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE