Pertanyaannya: uang siapa yang dipakai menghidupi “Media Bapak”? Ini dana rakyat, bukan modal politik pribadi Gubernur Bobby dan sejawatnya.
Sore yang mestinya diwarnai sunyi khidmat pelantikan pejabat eselon III dan IV di Aula Raja Inal Siregar, Kantor Gubernur Sumatera Utara, berubah jadi arena arogansi kekuasaan. Seorang anggota protokol melontarkan sengatan verbal—“dua wartawan perempuan itu tukang bantai”—disusul upaya menarik bahu wartawati, seolah kebebasan pers bisa disekat atas suka-suka penguasa.
Dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 18 ayat (1) menegaskan: siapa pun yang sengaja menghalangi tugas jurnalistik dapat dipidana hingga dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta. Ini bukan sekadar blunder etika, melainkan potensi tindak pidana yang terang-terangan menyalahi jaminan kebebasan pers.
Lebih dari insiden protokoler, yang terjadi di bawah kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution adalah upaya membangun dominasi wacana. Teori hegemoni Antonio Gramsci mengingatkan kita: kekuasaan tak hanya menindas lewat represi fisik, tetapi juga dengan mengendalikan informasi. Di sinilah muncul istilah “Media Bapak”—lingkaran media pengawal citra gubernur yang selalu diboyong dalam setiap agenda, termasuk survei proyek infrastruktur.
Bukti praktik itu terkuak di persidangan Tipikor PN Medan, 8 Oktober 2025. Saksi dari UPT PUPR Gunungtua mengungkap bahwa tim media gubernur dilibatkan dalam survei jalan senilai Rp 96 miliar tanpa dasar administrasi, surat perintah, atau penggunaan dana resmi—melainkan pos tak tercatat. Anggaran proyek lalu menanggung biaya kendaraan, bahan bakar, dan akomodasi “Media Bapak.” Ketua majelis hakim menegaskan: tindakan ini penyalahgunaan anggaran publik.
Fenomena diskriminasi informasi dan intimidasi jurnalistik bukan hanya terjadi di Sumut. Laporan tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 89 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang 2024, dengan tren meningkat di tahun politik. Aparatur publik, perusahaan, bahkan ormas bersekongkol membungkam kritik, memonopoli akses, dan menormalisasi sensor halus.
Di lapangan, media pendengung Gubernur Bobby diberi akses istimewa—iklan bernilai miliaran rupiah, liputan eksklusif, dan dana tak transparan. Sementara media kritis dipinggirkan, dibatasi akses, atau dihadang saat liputan. Ruang publik pun menipis asimetri informasinya: suara yang sejalan dengan rezim diunggah ke langit, kritik diredam.
Pertanyaannya sederhana: uang siapa yang dipakai menghidupi “Media Bapak”? Ini dana rakyat, bukan modal politik pribadi Gubernur Bobby dan sejawatnya. APBD adalah milik publik; bukan milik buzzer atau protokol dungu yang menghina wartawati itu. Informasi yang bersumber dari penggunaan anggaran daerah harus terbuka, sebab dari sanalah demokrasi bernapas.
Model pemerintahan feodalistik—warisan kolonial—menukar independensi pers dengan akses dan fasilitas. Dampaknya berlapis: pertama, administratif—tata kelola keuangan negara rusak, celah korupsi melebar. Kedua, demokratis—akuntabilitas publik terkikis tanpa informasi seimbang. Ketiga, profesional—intimidasi menumpulkan keberanian investigasi, memupuk swasensor.
Pers harus menolak dan melawan kejahatan ini. Transparansi dan akuntabilitas bukan antipemerintah, melainkan pilar pemerintahan modern. Negara sehat membiarkan pers berfungsi sebagai mitra korektif, bukan alat propaganda dan “ternak”. Jika pengadilan membenarkan dugaan penyimpangan, aparat hukum wajib bertindak tegas—bukan menutup telinga atas teriakan kebenaran.
Kejahatan terhadap pers yang dipertontonkan di Kantor Gubernur Sumut adalah isyarat keras bahwa demokrasi lokal terancam “inflasi moral” menyusul katub ekonomi yang melemah: Sumut juara inflasi Indonesia. Dari prahara informasi ini, publik berhak menuntut kebebasan pers yang dijamin hukum, dihormati birokrasi, dan diawasi tanpa pandang bulu—bukan oleh selera politik, meminjam diksi Belanda, “Gouverneur Bobby.”