Di depan hakim, ia menyangkal memakai “dalil” anak ulama dan nama Tuhan. “Saya tak pernah makan satu rupiah pun uang dari perbuatan ini.”
Sepotong aspal di ruas jalan Sipiongot–Batas Labuhanbatu kini menyisakan gurat korupsi. “Pesta pora” fee proyek senilai Rp4,05 miliar membuka kotak pandora ketika uang negara, yang sejatinya digunakan untuk memperbaiki jalan, dijadikan ladang suap. Di balik alat berat dan debu konstruksi, nama bekas Kapolres Tapanuli Selatan, AKBP Yasir Ahmadi, menyembul sebagai “jembatan rahasia” antara pengusaha dan pejabat publik. Persidangan di PN Tipikor Medan pun mengungkap rentetan pertemuan yang dipelopori Yasir. Etika polisinya tergadai, praktik kolusi pun terstruktur.
Pada 19 Maret 2025, Yasir bersama Topan Obaja Putra Ginting—Kepala Dinas PUPR Sumut—dan Rasuli Efendi Siregar “menggarap” survei lapangan. Topan menanyakan kontraktor dengan fasilitas lengkap, termasuk Asphalt Mixing Plant. Yasir dan Rasuli kompak menyodorkan nama Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun, bos PT Dalihan Na Tolu Grup. “Perjamuan” berlanjut. Empat hari kemudian, di Tong’s Coffee, Jalan Kejaksaan Medan, Yasir membawa Kirun kepada Topan. Rencana proyek pun disepakati, padahal proses pergeseran anggaran di provinsi belum kelar.
Pada 22 April 2025, Gubernur Bobby Nasution meninjau jalur proyek bertajuk off road. Yasir dan Kirun hadir di sana. Di sela senyum gubernur, sinyal mulai menyala: intensifikasi komunikasi, pertemuan tertutup, transfer dana. Sogokan Rp4,054 miliar mengalir ke saku pejabat BBPJN Sumut dan Dinas PUPR, termasuk 5 persen commitment fee dari nilai kontrak. Suntikan fulus itu berlangsung bertahap demi memastikan siapa “pemenang” proyek.
Puncak skenario korupsi ini mencuat pada 25 Juni 2025 di Grand City Hall Heritage Medan. Dalam pertemuan Kirun, Rayhan, dan Yasir dengan Topan Ginting, yang dibahas bukan teknis proyek, melainkan perizinan galian C dan percepatan lelang dua paket pekerjaan. Uang pelicin Rp50 juta “digeser” ke ajudan Topan. Keesokan hari, Topan memerintahkan Rasuli Efendi Siregar memproses e-katalog: memastikan perusahaan Kirun serta Rayhan menang—padahal dokumen perencanaan paket Sipiongot–Labuhanbatu belum rampung.
Dari fakta persidangan, nama Yasir memang tak tercantum sebagai penerima uang. Ia pun menyangkal memakai “dalil” anak ulama dan nama Tuhan. “Saya tak pernah makan satu rupiah pun uang dari perbuatan ini,” kata Yasir bergetar. Tapi, tanpa peran Yasir sebagai kepala polisi—alur pertemuan antara pengusaha dan pejabat tak semulus itu. Ironinya, Kapolres yang sejatinya menjadi benteng hukum, justru membuka jalan bagi korupsi. Ketika pengabdian penegak hukum berpindah ke wilayah bisnis, di sanalah legitimasi mulai pudar.
Fenomena ini bukan insiden tunggal. Data KPK mencatat, sepanjang 2019 hingga 2024, terdapat 38 kasus korupsi infrastruktur di Sumatera Utara dengan total kerugian negara mencapai Rp1,2 triliun. Dari puluhan nama pejabat publik hingga swasta terseret, pernyataan “keterbukaan” di papan nama proyek suka bersembunyi di balik pintu ruang rapat tertutup. Kasus Yasir mempertegas bahwa korupsi infrastruktur—terstruktur—kerap melibatkan oknum aparat kepolisian, kejaksaan, bahkan oknum tentara.
Praktik jual-beli proyek menimbulkan dua dampak: kualitas jalan buruk dan kepercayaan publik merosot. Jalan baru sudah retak atau berlubang dalam hitungan bulan, memaksa negara mengeluarkan dana perbaikan dini. Uang rakyat yang bocor di jalur korupsi pun dibayar dua kali. Lebih parah, mental koruptif yang tumbuh di balik pasal hukum menormalisasi suap sebagai “biaya operasional,” diperkuat oleh ulah aparat yang culas.
Saat kasus ini usai, mampukah kita memisahkan kekuasaan dari bisnis? Bagaimana memulihkan kepercayaan publik ketika penegak hukum justru terlibat korupsi? Etika harus ditegaskan kembali: larangan aparat ikut cawe-cawe proyek pemerintah, audit independen sebelum lelang, dan sanksi tegas—administratif maupun pidana—bagi pembuat kebijakan hingga ajudan.
Refleksi akhirnya tertuju pada kita semua. Jalan terbaik bukan cuma yang mulus teraspal, tetapi yang dibangun di atas integritas. Tanpa moralitas birokrasi, setiap proyek hanya akan berujung di berkas dakwaan. Pertanyaannya: uang negara ini untuk membangun peradaban, atau membiayai korupsi yang disamarkan sebagai kemajuan? Biarkan Ajun Komisaris Besar Polisi Yasir Ahmadi yang menjawab dengan “akal sehat”-nya.