Scroll Untuk Membaca

Editorial

Ketika Pendidik Melupakan Martabatnya

Ketika Pendidik Melupakan Martabatnya
Kecil Besar
14px

Kini, degradasi moral merayap ke ruang-ruang yang selama ini kita anggap suci.

Kasus dugaan hubungan sejenis  dua orang guru di bawah naungan Kementerian Agama, terjadi di teras sebuah rumah ibadah di Kota Padangsidimpuan, sungguh menyentak nurani publik. Di tengah tugas mulia sebagai pendidik dan panutan moral, tindakan tersebut tidak hanya mencoreng institusi pendidikan, tetapi juga melukai nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi masyarakat religius, khususnya umat Islam.

Tuntutan masyarakat terhadap Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Utara untuk bertindak tegas bukanlah sekadar reaksi emosional, tetapi lahir dari keinginan untuk menjaga integritas dunia pendidikan. Rektor Institut Pendidikan Tapanuli Selatan (IPTS), Zulfadli, dan Wakil Ketua MUI Padangsidimpuan, Samsuddin Pulungan, menyuarakan keprihatinan kolektif. Dunia pendidikan tidak boleh menjadi tempat tumbuhnya perilaku amoral. Apalagi jika terjadi dalam lingkup lembaga yang secara langsung berada dalam garis pengabdian terhadap agama.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sangat menjunjung tinggi kemuliaan akhlak dan melaknat perilaku menyimpang yang melanggar fitrah kemanusiaan itu. Hubungan sejenis, dalam perspektif Islam, termasuk dalam kategori dosa besar. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an melalui kisah kaum Nabi Luth AS yang Allah musnahkan karena menyimpang dari fitrah—melakukan fahisyah, hubungan sejenis—yang tidak pernah dilakukan umat sebelumnya.

Tindakan tegas terhadap oknum guru berinisial EH dan IH, jika terbukti bersalah, bukan semata-mata soal sanksi administratif. Ini bentuk tanggung jawab moral dan spiritual, sebagai upaya menjaga marwah pendidikan dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Guru bukan hanya pengajar, tetapi pembentuk karakter. Jika karakter itu sendiri rusak, apa yang bisa kita harapkan dari generasi yang mereka didik?

Kemenag Sumut harus memosisikan diri bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga penjaga moralitas. Dunia pendidikan berbasis agama membutuhkan teladan, bukan skandal. Ketegasan penindakan harus seiring dengan keteladanan dalam membina. Sebab, krisis moral tidak cukup dibereskan dengan statemen keras—ia butuh tindakan nyata dan terukur.

Kasus ini juga menjadi refleksi mendalam bagi semua elemen bangsa bahwa degradasi moral bisa merayap ke ruang-ruang yang selama ini kita anggap suci. Maka, membangun peradaban bukan hanya tugas teknis pendidikan, melainkan perjuangan panjang menjaga nilai.

Mari kita kembali kepada fitrah, menjaga marwah profesi, dan menegakkan nilai agama sebagai fondasi membangun generasi masa depan, bukan malah merusaknya lewat skandal  menjijikkan:  hubungan sesama jenis.  ***

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE