Scroll Untuk Membaca

Editorial

Khamozaro Dan Perintah “Seret” Bobby Ke Ruang Sidang

Khamozaro Dan Perintah “Seret” Bobby Ke Ruang Sidang
Kecil Besar
14px

Asas equality before the law: di hadapan hukum, antara gubernur dan maling uang rakyat berdiri setara.

Palu hakim belum usai bergaung di ruang Pengadilan Tipikor Medan ketika majelis seakan menuntun jaksa pada satu simpul: bila benang proyek dan anggaran berkelindan di meja eksekutif, saksi kunci tak boleh terus melenggang di luar ruang sidang. Perintah “seret”—hadirkan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution—bukan sensasi, melainkan logika hukum agar uang, kuasa, dan kebijakan dipertemukan di bawah sumpah seluruh isi ayat dalam Alquran, bukan retorika.

Kasus korupsi jalan di Sumut itu terjadi begitu terang benderang. Operasi tangkap tangan KPK pada 26 Juni 2025 membongkar skema pengaturan paket jalan. Kronologinya diatur begitu rapi: survei lapangan pada 22 April; rekanan swasta diikutkan sejak awal; pemenang tender diatur dalam “persekongkolan” jahat. Dua paket yang ramai dibicarakan—ruas Sipiongot–Batas Labuhanbatu (pagu Rp96 miliar) dan Hutaimbaru–Sipiongot (Rp69,8 miliar)—disorot karena prosesnya melompati logika perencanaan. Di pengadilan, dua rekanan duduk sebagai terdakwa; jaksa mengurai aliran suap lebih dari Rp4 miliar untuk mengunci proyek. Rangkaian ini terkonfirmasi dalam ekspos KPK dan dakwaan yang dibacakan JPU.

Perkara kini bergulir di Pengadilan Tipikor Medan. Majelis yang diketuai Khamozaro Waruwu, Rabu 24 September 2025, melanjutkan agenda pembuktian; dua kontraktor diadili lebih dulu sebelum berkas eks Kadis PUPR Sumut Topan Ginting menyusul. Publik menanti simpul berikutnya: kapan saksi kunci dari lingkar eksekutif hadir menjelaskan mata rantai kebijakan—mulai dari survei lapangan hingga pengunci tender yang dipersoalkan.

Sumbu politik perkara ini berada pada pergeseran anggaran. Dalam hitungan bulan, APBD Sumut 2025 bergeser lewat Peraturan Gubernur hingga enam kali—aliran pos diarahkan ke Dinas PUPR untuk membiayai paket yang kini dipersengketakan. KPK telah memeriksa mantan Pj Sekda M. A. Effendy Pohan, kala itu Ketua TAPD, guna mengurai dasar kebijakan dan tata kelola pergeseran itu. Pertanyaannya sederhana: apakah Pergub dijadikan pintu darurat untuk menembus perencanaan yang belum siap, atau ada kebutuhan kebijakan yang bisa dipertanggungjawabkan? Jawabannya harus lahir di ruang sidang. Dan semua itu ada di isi “kepala” Gubernur Bobby Nasution.

Meminta jaksa menghadirkan menantu Jokowi ini sebagai saksi bukan preseden tabu. Dalam perkara KONI Sumsel, majelis memerintahkan JPU memanggil Gubernur Herman Deru—pertanda bahwa keterangan pucuk eksekutif adalah simpul bukti yang tak bisa digantikan bawahan. Di Jakarta, KPK juga menegaskan membuka peluang memeriksa Bobby Nasution bila relevan dengan pembuktian perkara jalan Sumut. Inilah inti asas equality before the law: jabatan tak memberi imunitas dari panggilan sidang.

Sejarah memberi pembanding. Nurdin Abdullah divonis lima tahun penjara dan pencabutan hak politik karena suap serta gratifikasi proyek infrastruktur Sulawesi Selatan. Zumi Zola dihukum enam tahun karena gratifikasi dan suap “ketok palu” APBD Jambi. Terbaru, Lukas Enembe dijatuhi delapan tahun penjara serta uang pengganti. Ragam putusan ini mengirim pesan tegas: ketika bukti lengkap, panggung politik runtuh, hukum berbicara tanpa basa-basi.

Maka, menghadirkan gubernur di kursi saksi bukan penghukuman dini, melainkan uji terang atas kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak—dari pergeseran anggaran, penetapan pemenang, hingga janji percepatan pembangunan yang kerap dijadikan panggung. Pemeriksaan terbuka akan menjernihkan batas antara “memimpin pembangunan” dan “mengarahkan proyek”, menimbang fakta, bukan reputasi. Di hadapan publik, jaksa wajib mengejar konsistensi, hakim menjaga keseimbangan, dan KPK menutup celah kebiasaan lama: proyek disiapkan dulu, perencanaannya muncul belakangan.

Pada akhirnya, perkara Sumut bukan melulu pergumulan fakta di ruang sidang, melainkan cermin cara kita mengelola uang rakyat. Bila hukum sungguh hendak dipulihkan, panggilan saksi tak boleh diseleksi menurut kedekatan, kenyamanan, atau trah. Seretlah semua yang perlu—termasuk Bobby Nasution—agar fakta berdiri setara di hadapan hukum antara gubernur dan maling uang rakyat. Selebihnya, biarkan putusan berbicara, dan kita belajar bahwa keadilan membutuhkan keberanian, etika, dan ingatan panjang—bukan cuma slogan yang enak diucap saat kampanye di hadapan pemilih bayarannya!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE