IMF: kurangi risiko dulu, baru kejar laju. Purbaya: sulut laju untuk memperkecil risiko pengangguran dan stagnasi.
Purbaya Yudhi Sadewa datang seperti koboi ke gedung perbendaharaan. Topi imajiner, bahasa ceplas-ceplos. “Plain-speaking economist,” tulis kantor berita asing. Pasar kaget, tapi ia tak menepikan kuda. Ia baru saja menggantikan Sri Mulyani di tengah riuh rendah politik fiskal—dan langsung menembakkan peluru pertama: memindahkan Rp200 triliun dana pemerintah ke bank-bank BUMN untuk mempercepat kredit. Bukan buat beli SBN, tegasnya, melainkan wajib disalurkan ke sektor riil. Targetnya, pertumbuhan melesat 6–7 persen. Bank menerima aturan main dan wajib lapor bulanan. Koboi suka aturan sederhana.
Skemanya rapi—dan berani. Dana ditempatkan sebagai deposit on call enam bulan, bunga mengacu sebagian dari suku kebijakan BI, dan pemerintah bisa cabut kapan saja. Mandiri, BNI, BRI masing-masing kebagian Rp55 triliun; BTN Rp25 triliun; BSI Rp10 triliun. Ide besarnya: sistem perbankan yang “kering” mesti disirami likuiditas agar kredit mengalir, UMKM bergerak, konsumsi tak lagi megap. Kritik tentu datang: persoalannya permintaan, bukan likuiditas. Tapi koboi tak berdebat soal awan; ia membawa hujan.
Di panggung lain, Purbaya memamerkan holster retorika. “Jangan percaya IMF,” ujarnya. Bahkan, “IMF bodoh… lihat track record-nya.” Ia lama gerah pada ramalan lembaga itu yang memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia, dianggap terlalu pesimistis. Nada ini bukan baru kemarin sore; jejak digitalnya beredar sejak ia masih memimpin LPS. Bahasa yang tajam, kadang menyengat—dan, bagi pendukungnya, membebaskan “sihir” IMF.
Apa yang ditentangnya dari “gaya IMF”? Rumusan ortodoksi yang serba hati-hati: jaga defisit, bangun bantalan, disiplin moneter, dan reformasi struktural bertahap. Dokumen konsultasi tahunan IMF memang menekankan kehati-hatian makro, konsolidasi fiskal, dan penyangga stabilitas. Bagi Purbaya, resep itu sering salah baca konteks Indonesia—dan melahirkan proyeksi yang, menurutnya, keliru. Maka ia memilih berangkat dari lapangan: perbaiki transmisi kredit, pacu permintaan domestik, dan genjot investasi di program prioritas pemerintahan baru—dari makan siang sekolah sampai perumahan rakyat—dengan tetap menjaga palang pintu 3% defisit.
Perbandingannya terang. IMF: kurangi risiko dulu, baru kejar laju. Purbaya: sulut laju untuk memperkecil risiko pengangguran dan stagnasi. IMF menimbang keseimbangan jangka menengah; Purbaya mengejar momentum jangka pendek agar mesin tumbuh, sembari berjanji tetap disiplin fiskal. Ini pertaruhan reputasi, tentu. Pasar membandingkan kebijakan baru dengan era prudensial sebelumnya. Tetapi koboi percaya, ekonomi tak bisa ditarik kencang dengan rem tangan terpasang. Karena itu Rp200 triliun dijadikan bensin, bukan parkir.
Apakah skema ini cukup? Kuncinya implementasi: penyaluran kredit yang berkualitas, tak jatuh ke proyek seremonial; pengawasan laporan bulanan; dan koordinasi erat dengan BI agar injeksi tak diserap balik operasi moneter. Pada saat yang sama, pemerintah harus menegaskan bahwa likuiditas murah bukan karpet merah bagi moral hazard. Transparansi penyaluran, sasaran UMKM yang terukur, dan pengungkapan biaya-manfaat wajib diumumkan reguler. Koboi boleh njeplak, tetapi buku kas harus rapi. Jika kredit mengalir dan konsumsi bangkit, Purbaya menang argumen. Kalau tidak, ia sekadar menembak debu. Sementara itu, angka bicara—bukan slogan. Itulah “Si Koboi” Purbaya: njeplak di atas 200 triliun—trend pasar pun positif!